BAB I
KONSEP DASAR PROFESI
Setelah
mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi:
1. Mengungkapkan
kembali pendekatan kajian akademik profesi secara umum.
2. Mendefinisikan
pengertian profesi.
3. Menjelaskan
ciri khusus (karakteristik) profesi.
4. Membedakan
antara pekerjaan yang tergolong profesi profesional dan yang bukan profesi yang
profesional berdasarkan syarat-syarat keprofesian menurut kajian akademik.
A.
PERIHAL
PROFESI DAN PENGERTIANNYA
Menurut Waddington (1996), istilah
profesi pada awalnya berarti sejumlah pekerjaan terbatas yaitu
pekerjaan-pekerjaan yang hanya ada dalam era pra-industri di eropa, yang
membuat orang-orang berpenghasilan mampu hidup tanpa tergantung pada
perdagangan atau pekerjaan manual. Hukum, kedokteran, dan keagamaan merupakan tiga
profesi klasik, tetapi pejabat angkatan darat dan angkatan laut kemudian juga
dimasukan ke dalam profesi. Proses indrustrialisasi dikaitkan dengan perubahan
besar dalam struktur profesi lama ini, dan dengan pertumbuhan lapangan kerja
baru yang pesat, banyak dari pekerjaan ini kemudian mendapatkan status
profesional. Perubahan-perubahan dalam struktur pekerjaan tersebut
direfleksikan dalam literatur sosiologi, misalnya studi klasik oleh
Carr-Saunderrs dan Wilson (1993), dalam usaha untuk mendefinisikan ciri atau
karakteristik dari profesi modern. Pendekatan ini kadang-kadang disebut dengan
pendekatan “ciri” atau “daftar periksa” – bagaimanapun juga belum mendapatkan
persetujuan luas, seperti misalnya, apa definisi profesi yang bermanfaat dan
memadai.
Berdasarkan uraian di
atas tampak bahwa ada dua istilah yang jika tidak dijelaskan akan
membingungkan, karena dewasa ini kedua istilah itu sering kali dipertukarkan
atau disebut secara bergantian, yaitu
istilah pekerjaan dan istilah profesi. Sama atau berbedakah pengertian
kedua istilah tersebut? Wirawan (2009), berpendapat, pekerjaan adalah aktivitas
menyelesaikan sesuatu atau membuat sesuatu yang hanya memerlukan tenaga dan
keterampilan tertentu seperti yang dilakukan oleh pekerja kasar atau blue collar worker. Dicontohkan termasuk
dalam kategori pekerjaan misalnya sopir bus, pembantu rumah tangga, tukanag
cukur, pengantar surat pos, dan tukang kayu. Sementara yang dimaksud profesi
menurut Wirawan (2009), adalah suatu pekerjaan yang untuk menyelesaikannya memerlukan
penguasaan dan penerapan teori ilmu pengetahuan yang dipelajari dari lembaga
pendidikan tinggi seperti yang dilakukan oleh para profesional atau white collar worker. Contoh profesi
adalah pekerjaan yang dilakukan oleh manajer, dokter, guru dan dosen, hakim,
jaksa, advokad atau pengacara, perawat, akuntan, dan lain-lain.
Hal menarik sebetulnya
jauh-jauh hari pernah dikemukakan Millerson (1964), setelah meneliti literatur
dengan cermat, mendaftar tidak kurang dari 23 unsur, yang dipisahkan dari karya
21 penulis, yang telah memasukkan berbagai definisi profesi. Hasilnya adalah,
tidak ada item tunggal yang dapat diterima oleh penulis sebagai karakteristik
profesiyang dibutuhkan, dan tidak ada dua penulis yang sepakat mengenai
kombinasi elemen mana yang dapat dimbil sebagai definisi. Akan tetapi ada enam
karakteristik yang disebut-sebut yaitu: memiliki keahlian berdasarkan
pengetahuan teoretis, adanya pelatihan dan pendidikan, uji kemampuan anggota,
organisasi, terikat dengan aturan pelaksanaan, dan adanya pemberian jasa
altruistik.
Secara historis,
sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an banyak ahli sosiologi menggunakan
pendekatan “daftar periksa” (check-list)
untuk mempelajari pekerjaan, seperti kerja sosial, pengajar, perawat dan
pustakawan, untuk melihat apakah pekerjaan itu bisa disebut sebagai profesi
atau tidak. Namun demikian, sejak awal 1970-an pendekatan deskriptif ini
semakin ditinggalkan karena banyaknya kritik tajam. Freidson (1970), dan
Johnson (1972), misalnya, mengkritik bahwa ciri-ciri yang dipakai untuk
mendefinisikan profesi seringkali, secara analitik dan empirik, bersifat
mendua, sedangkan daftar dari elemen yang berfungsi mendefinisikan dibentuk
secara sewenang-wenang, dan juga tidak banyak usaha untuk mengartikulasikan
hubungan antara elemen-elemen secara teoretis. Akhirnya para kritikus merasa
bahwa pendekatan ini cenderung mereflesikan gambaran ideologis yang oleh para
profesional berusaha disampaikan dari karya-karya mereka sendiri.
Sejak tahun 1970-an
literatur tentang profesi menjadi lebuh kritis dan cenderung terfokus pada
analisis kekuasaan profesional, dan posisi profesi di dalam pasar tenaga kerja.
Berkaitan dengan posisi profesi tersebut, Berlant (1975), misalnya, melihat
profesionalisasi sebagai proses monopolisasi; sedangkan Larson (1977),
melihatnya sebagai sesuatu proses mobilitas pekerjaan berdasarkan pada kontrol
terhadap pasar tertentu. Namun demikian pengaruh yang dominan sepanjang 1970-an
dan 1980-an barangkali dari Freidson dan Johnson, karena keduanya memokuskan
diri pada kekuasaan profesional.
Freidson (1986),
berpendapat bahwa otonomi profesional, yakni kekuasaan profesi untuk
mendefinisikan dan mengontrol pekerjaan merekalah yang membedakan karakteristik
dari profesi. Dalam perspektif ini pengetahuan yang khusus atau perilaku
altruistik tidak dipandang sebagai karakteristik esensial dari profesi. Namun,
klaim terhadap atribut-atribut semacam itu, terlepas dari soal valid atau
tidak, barangkali penting dalam proses
Profesionalisasi sepanjang
atribut-atribut tersebut merupakan retorika dipandang dari segi kelompok
pekerja yang berusaha untuk mendapatkan hak-hak istimewa seperti sistem
lisensi, pengaturan sendiri, dan situasi pasar yang terjaga. Oleh karena itu
proses profesionalisasi dilihat bersifat politis dalam karakternya, suatu
proses “dimana kekuasaan retorika persuasif lebih diutamakan ketimbang karakter
objektif dari pengetahuan, pelatihan dan pekerjaan.”
Karya Johnson (1972),
berpusat pada analisis hubungan praktisi-klien. Dia mencatat bahwa pekerjaan
yang secara konvesional disebut sebagai “profesi” telah, diberbagai waktu dan
tempat, menjadi tunduk pada kekuatan klien (patronase),
atau hubungan praktisi-klien mungkin diperantai oleh kelompok ketiga, seperti
gereja atau negara (kontrol penengah). Istilah profesionalisme digunakan untuk
bentuk khusus dari kontrol pekerjaan, yang melibatkan pengaturan sendiri
tingkat tinggi dan kemandirian dari kontrol eksternal yang dalam bentuknya yang
paling berkembang, merupakan produk dari kondisi sosial tertentu pada abad 19
di Inggris dan Amerika.
Abbott (1998; 1991),
menyatakan bahwa profesi adalah kelompok pekerjaan eksklusif yang melakukan
yuridiksi pada bidang pekerjaan tertentu. Yuridiksi ini dilaksanakan berdasarkan
kontrol yang kurang lebih abstrak, esoterik dan pengetahuan intelektual;
kelompok yang kurang pengetahuannya (misalnya polisi dibandingkan dengan
pengacara) umumnya gagal dalam mempertahakan profesionalismenya. Apa yang
berbeda dari pendekatan Abbott bukanlah definisi profesinya tetapi penegasannya
bahwa profesionalisasi tidak dapat dipahami hanya sebagai perkembangan linier
sederhana dari pekerjaan individu yang dilihat secara tersendiri, karena
perkembangan berbagai profesi harus dipandang sebagai saling ketergantungan.
Ada sejumlah, dan
kadang-kadang bertentangan, definisi dari profesi. Abbott (1991), telah
mencatat kebingungan ini dan menyarankan bahwa “memulai dengan definisi bukan
berarti memulai semuanya.” Barangkali yang lebih membantu adalah Freidson
(1986), yang menunjukkan perbedaan penting antara profesi di Amerika Serikat
dan di Inggris dan status jabatan yang tinggi di daratan Eropa, dan berpendapat
bahwa profesionalisme adalah “penyakit Anglo-Amerika.” Ia berpendapat bahwa
masalah tidak diciptakan: “dengan memasukan ciri pembawaan dan atribut dalam
definisi. Masalah, terletak lebih dalam ketimbang hal tersebut. Masalah
tercipta karena ada usaha untuk memperlakukan pekerjaan (profession) seolah-olah sebagai konsep generik ketimbang konsep historis
yang berubah dengan akar yang bersifat unik di dalam negara industri yang
sangat dipengaruhi oleh institusi Anglo-Amerika.”
Secara harfiah, kata
profesi merupakan terjemahan istilah bahasa Inggris profession, yang artinya adalah pekerjaan. Berdasarkan kajian
akademik, selain pengertian sebagaimana dikemukakan Waddington (1996), Wirawan
(2009), dan Abbott (1988, 1991), di atas, ada pengertian lain profesi yang
sejalan. Arifin (1995), misalnya, mengemukakan bahwa profession mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang
memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latian khusus.
Menurut Kunandar (2007), profesi adalah suatu bidang pekerjaan yang ingin atau
akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau
pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahhuan dan keterampilan khusus yang
diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, profesi adalah suatu
pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu. Sedangkan menurut
Martinis Yamin (2007), profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni
pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan
intelektualitas. Sementara Jasin Muhammad dalam Muhamad Yunus Namsa (2006),
mengemukakan bahwa profesi adalah suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan
tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi serta cara
menyikapi lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli.
Pengertian profesi ini mengandung makna bahwa di dalam suatu pekerjaan
profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan
intelektual yang mengacu pada pelayanan keahlian.
Berdasarkan beberapa
definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu
pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan kompetensi intelektual, perilaku
ilmiah berbasis ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu, memiliki etika
tertentu, memiliki kesesuaian dengan kebutuhan dan permintaan pasar tenaga
kerja, dan diperoleh seseorang melalui proses pendidikan dan pelatihan akademik
di perguruan tinggi.
B.
KARAKTERISTIK
PROFESI
Sudah menjadi pemahaman kolektif bahwa
profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan, namun tidak semua pekerjaan atau
jabatan dapat disebut sebagai profesi. Menurut Brian Rowan (1994), ada suatu
metode untuk menjadikan jabatan atau peekerjaan sebagai atau profesi yang
disebut profesiisme. Profesiisme adalah suatu upaya untuk menerapkan faham
profesi terhadap jabatan atau pekerjaan tertentu dan membandingkannya dengan
jabatan lain sehingga menjadi jabatan atau pekerjaan tersebut sebagai profesi
yang profesional. Salah satu teknik yang digunakan ialah membandingkan atau
menganilisis karakteristik suatu pekerjaan yang sehingga pekerjaan tersebut
dapat disebut sebagai profesi.
Perihal karakteristik
profesi, Ornstein dan Levine (1984), mengemukakan bahwa suatu pekejaan atau
jabatan disebut profesi apabila memenuhi sejumlah karakteristik berikut ini.
1. Memberikan
jasa pelayanan kepada masyarakat, dalam arti pelayanan jasa tersebut merupakan
karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat, tidak berganti-ganti pekerjaan.
2. Memerlukan
bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkuan khalayak ramai, artinya,
tidak setiap orang dapat melakukannya.
3. Pekerjaan
yang dilakukan berangkat dari teori ke praktik dan hasil-hasil penelitian
tentang pekerjaan itu sehingga sangat dimungkinkan adanya teori baru dan
praktik baru pekerjaan.
4. Memerlukan
pelatihan khusus dengan waktu yang relatif lama (panjang).
5. Terkendali
berdasarkan “lisensi” baku dan atau mempunyai persyaratan masuk. Artinya, untuk
mendapatkan pekerjaan tau jabatan tersebut diperlukan izin khusus atau
sertifikasi serta persyaratan khusus yang dikeluarkan oleh organisasi atau
birokrasi pemerintahan.
6. Memiliki
otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu yang tidak
teratur oleh pihak luar.
7. Menerima
tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan kinerja yang ditampilkan
yang berhubungan dengan layanan yang diberikan. Artinya, pertanggungjawaban
bersifat personal terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindah ke pihak
atasan atau instansi, baik horisontal maupun vertikal.
8. Mempunyai
sekumpulan kinerja terstandar (baku mutu).
9. Mempunyai
komitmen terhadap jabatan dan klien; dengan penekanan terhadap layanan yang
akan diberikan.
10.
Menggunakan administrator untuk
memudahkan profesinya. Sebut misalnya, dokter, memakai tenaga administrasi
(ahli rekam medis) untuk mendata klien dan mencatat segala segala kemajuan
kesehatan klien berikut obat-obat apa saja yang telah diberikan sepanjang
layanan medik.
11. Relatif
bebas dari supervisi dalam jabatan, artinya tidak ada supervisi dari pihak luar
terhadap pekerjaan yang dilakukan.
12. Mempunyai
organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri. Mempunyai asosiasi profesi
dan atau kelompok “elit” untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya,
termasuk di dalamnya kewenangan organisasi profesi untuk menindak anggotanya
yang “malpraktik” dengan berpegangan pada kode etik profesi yang telah
disepakati bersama.
13. Mempunyai
kode etik (code of conduct) untuk
menjelaskan hal-hal meragukan atau menyangsikan berhubungan dengan layanan
pekerjaan yang diberikan.
14. Mempunyai
kadar kepercayaan yang tinggi dari publik dan kepercayaan diri setiap
anggotanya.
15. Secara
umum dipandang sebagai suatu status sosial dan status ekonomi yang tinggi
apabila dibandingkan dengan pekerjaan atau jabatan lainnya.
Sejalan dengan
karakteristik tersebut, Achmad Sanusi, dkk. (1991), mengemukakan bahwa
karakteristik suatu profesi adalah berikut ini.
1. Suatu
jabatan yaang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan (crusial).
2. Jabatan
yang menuntut keterampilan atau keahlian tertentu.
3. Keterampilan
atau keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah
dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4. Jabatan
itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu (body of knowledge) yang jelas, sistematik, eksplisit, dan bukan
hanya sekedar pendapat khalayak umum (publik).
5. Jabatan
itu memerlukan pendidikan tingkat pergguruan tinggi dengan waktu yang cukup
lama.
6. Proses
pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi
nilai-nilai profesional itu sendiri.
7. Dalam
memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi berpegang teguh pada kode
etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
8. Tiap
anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan pendapat ahli (judgement) terhadap permasalahan profesi
yang dihadapinya.
9. Dalam
praktik memberikan pelayanan kepada masyarakat, anggota profesi bersifat otonom
dan bebas dari campur tangan pihak luar.
10. Jabatan
ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan oleh karenanya –
secara umum, dan semestinya – memperoleh imbalan yang tinggi pula.
Berdasarkan
karakteristik tersebut sekarang menjadi jelas bahwa tidak setiap pekerjaan atau
jabatan bisa disebut sebagai profesi. Sudah dapat diidentifikasi apakah tukang
becak, penderes karet, petani, masinis, pilot, dokter, guru, dosen, wartawan,
reporter, penyiar radio, nelayan, penyanyi, artis, aktor, operator kompurter,
pencatat kegunungapian, perawat, bidan, dan lain-lain adalah pekerjaan ataukah
profesi.
C.
PROFESIONALISME
PROFESI
Pada akhir abad 20 dan dasa warsa
pertama abad 21, cukup banyak kosa kata yang semula tidak populer menjadi
sangat populer, salah satu diantaranya ialah kosa kata “profesionalisme.” Kosa
kata profesionalisme, setelah perang dunia II, beriringan dengan kata “evaluasi
kinerja” berkembang luas (Poels, 2003). Ketika pengalaman dalam kedua bidang
tersebut berkembang, kritik atas metode-metode yang digunakan juga meningkat, sebab
dasar ilmiahnya hingga saat ini belum ada. Kritik gencar datang dari kalangan
akademis, terutama psikolog. Kata profesionalisme lebih menemukan relevansinya
di atas semua perdebatan tentangnya, terutama dalam praktik dan disiplin
manajemen. Dibandingkan dengan disiplin lain, disiplin dan praktik manajemen
telah mengembangkan batasan profesionalisme jauh lebih progresif dengan
cara-cara yang sangat fleksibel, yakni dengan melakukan analisis suatu
pekerjaan, memberikan suatu skor atau poin, dan memeringkatkannya, dan
menentukan basis remunerasinya (penggajian).
Pertanyaannya ialah,
apakah semua profesi memiliki domain profesionalisme? Secara akademik yang
disebbut profesionalisme identik dengan profesiisme menurut Rowan (1994);
profesionalisasi menurut Abbott (1998; 1991); bentuk khusus dari kontrol
pekerjaan menurut Johnson (1972); sebagai proses monopolisasi menurut Berlant
(1975); dan suatu proses mobilitas pekerjaan berdasarkan pada kontrol terhadap
pasar tertentu menurut Larson (1977).
Akan tetapi ada baiknya
pengertian profesionalisme secara umum dan hubungannya dengan profesi
diketengahkan agar diperoleh pemahaman yang komprehensif. Profesioanlisme ialah
sifat-sifat, yakni kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan
lain-lain, sebagaimana yang sewajarnya terdapat pada atau dilakukan oleh
seseorang profesional. Profesionalisme berhubungan dengan dan memerlukan
kepandaian khusus untuk menjalakannya (KBBI, 1994).
Profesionalisme adalah
tingkah laku, kepakaran atau kualitas daari seseorang yang profesional
(Longman, 1987). Dalam kamus kata-kata serapan asing dalam bahasa indonesia,
karya Badudu (2003), profesionalisme didefinisikan sebagai mutu, kualitas, dan
tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri seorang yang
profesional. Sementara kata profesional sendiri berarti, bersifat profesi,
memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan, serta beroleh
bayaran karena keahliannya itu.
Profesionalisme adalah
suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam
masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa
keterpanggilan, serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut dengan semangat
pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah
dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan (Wignjodoebroto, 1999).
Profesionalisme adalah
sebutan yang mengacu pada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota
suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas
profesionalnya. Seseorang yang memiliki jiwa profesionalisme senantiasa
mendorong dirinya untuk mewujudkan kerja-kerja yang profesional. Kualitas
profesionalisme didorong oleh ciri-ciri sebagai berikut:
1. Keinginan
untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati piawai ideal. Seseorang yang
memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai
dengan piawai yang telah ditetapkan. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada
seseorang yang dipandang memiliki kepiawaian tersebut. Maksud “piawai ideal”
ialah suatu perangkat perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan
sebagai rujukan.
2. Meningkatkan
dan memelihara citra profesi.
Profesionalisme yang tinggi
ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara
citra profesi melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudannya dilakukan
melalui berbagai cara misalnya penampilan, cara percakapan, penggunaan bahasa,
sikap dan bahasa tubuh, perilaku sehari-hari, dan bagaimana memelihara hubungan
dengan individu lainnya.
3. Keinginan
untuk senantiasa mengejar peluang dan kesempatan pengembangan karier yang dapat
meningkatkan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya.
4. Mengejar
kualitas dan cita-cita keprofesian.
Profesionalisme ditandai dengan
kualitas dan rasa bangga akan profesi yang disandangnya. Dalam hal ini
dihaarapkan agar seseorang itu memiliki rasa bangga dan percaya diri akan
profesinya.
Profesonalisme biasanya
juga dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib dimiliki oleh setiap eksekutif
yang baik dengan ciri-ciri berikut ini.
1. Mempunyai
keterampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan
peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan
dengan bidang tadi.
2. Mempunyai
ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganilisis suatu masalah dan peka
dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan
terbaik.
3. Mempunyai
sikap berorientasi ke depan sehingga memiliki kemampuan mengantisipasi
perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya.
4. Mempunyai
sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka
menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang
terbaik bagi diri dan perkembangan dirinya.
Adapun perilaku yang
dipandang mencerminkan profesionalisme, antara lain berikut ini.
1. Bertanggung
jawab terhadap tugas yang diberikan.
2. Memberi
arahan tugas dengan jelas.
3. Membina
bawahan dengan memberikan kesempatan untuk maju dan berkembang serta
mengalokasikan sumber daya manusia dalam mengantisipasi hal yang terjadi di
kemudian hari.
4. Mampu
menyelesaikan tugas tepat waktu dan tuntas.
5. Memberi
laporan secara akurat dan objektif.
6. Terbuka
terhadap saran dan kritik.
7. Selalu
berusaha meningkatkan kemampuan dan keterampilan.
8. Proaktif
mengikuti perkembangan bidang yang berhubungan dengan pekerjaannya.
9. Proaktif
mengajukan usulan yang kreatif dan konstruktif.
10. Bertanggung
jawab terhadap aset perusahaan dan menggunakannya secara profesional.
11. Mengontrol
dan mengawasi mitra kerja, sesuai dengan perjanjian kerja sama yang disepakati.
12. Selalu
mengevaluasi semua tugas yang dilaksanakan untuk pengembangan selanjutnya.
Berdasarkan uraian
panjang tersebut dapatlah ditarik benang merah pola hubungan antara
profesionalisme dan profesi. Profesionalisme itu paham profesi. Apabila suatu
profesi ingin dipandang sebagai profesi yang profesional, maka jelas profesi
tersebut harus melalui prinsip well
educated, well trained, dan well paid.
Pada profesi yang profesional melekat dua hal yang harus ada (qondisio sine quanon), yakni kompetensi
dan kinerja. Kompetensi adalah atribut-atribut yang dimiliki oleh suatu
pekerjaan dan membedakannya dengan pekerjaan lainnya (Armstrong, 2003),
sedangkan kinerja merupakan akronim dari kinetik energi kerja atau yang dalam
bahasa Inggris disebut perfomance
(Wirawan, 2009). Kinerja mempunyai hubungan kausal dengan kompetensi. Kinerja
merupakan fungsi dari kompetensi, perilaku dan sikap, dan tindakan kerja.
Kompetensi melukiskan karakteristik pengetahuan, keterampilan, perilaku, dan
pengalaman untuk melakukan suatu pekerjaan atau peran tertentu secara efektif.
Kompetensi secara objektif dapat diukur dan dikembangkan melalui supervisi,
manajemen kinerja, dan program pengembangan sumber daya manusia. Pengetahuan
mengidikasikan apa yang terdapat dalam kepala (otak) seseorang, mengetahui
kesadaran atau pemahaman mengenai sesuatu, terutama pekerjaan. Keterampilan
mereflesikan kemampuan seseorang yang dapat diukur yang telah dikembangkan
melalui praktik, pelatihan, dan atau pengalaman.
D.
ISU
PRESENTASI DAN SEMINAR
1. Di
Amerika Serikat, ada dokumen yang disebut Dictionary
of Occupation Title (DOT) yang dipublikasikan oleh Departemen Tenaga Kerja
Amerika Serikat. Dokumen tersebut memuat ribuan jenis pekerjaan atau jabatan,
baik yang memerlukan keahlian maupun yang tidak memerlukan keahlian khusus. Di
Indonesia juga banyak pekerjaan atau jabatan yang tersedia sesuai dengan pasar tenaga kerja. Cobalah anda
daftar pekerjaan apa saja yang anda ketahui, pilihlah pekerjaan atau jabatan
apa yang dapat dikategorikan profesi, profesi yang profesional, atau hanya
pekerjaan saja. Gunakan karakteristik profesi sebagaimana dikemukakan para ahli
untuk menjustifikasi. Presentasikan dan seminarkan isu tersebut!
2. Perhatikan,
di Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau dokumen lain seperti Kartu Keluarga (KK),
SIM, dan sebagainya, selain terdapat kolom identitas diri, juga ada kolom
“pekerjaan.” Sudah tepatkah penempatan kolom “pekerjaan” tersebut? Jadikan isu
ini sebagai perdebatan yang argumentatif dan konstruktif!
BAB II
PERIHAL
PROFESI KEPENDIDIKAN
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa
diharapkan memiliki kompetensi:
1. Mengartikulasikan
intisari profesi kependidikan.
2. Membedakan
berbagai ragam profesi kependidikan.
3. Beragumentasi
bahwa profesi kependidikan adalah profesi yang profesional.
A.
TINJAUAN
UMUM
Diskusi tentang profesi secara umum
sebagaimana dikemukakan di bab I mendorong telaah lebih lanjut tentang profesi
kependidikan. Pertanyaan dasarnya ialah, apakah ada identitas profesi dalam
bidang pendidikan? Jikalau ada, apakah profesi tersebut termasuk kategori
profesi yang profesional?
Dimulai dari pemahaman
istilah “kependidikan” terlebih dulu, istilah’kependidikan’ di Indonesia
sebetulnya mengemuka sejak awal tahun 1980-an. Istilah yang populer sebelum
tahu-tahun tersebut adalah pendidikan, dan atau dunia pendidikan. Istilah
‘kependidikan’ populer dengan bersamaan dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), terutama setelah ada
pembaruan pendidikan guru dimana lembaga penghasil tenaga guru dan tenaga di
bidang pendidikan lain muncul dalam dokumen yang disebut sebagai Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Di bawah kepemimpinan Tjokorda Raka Joni
dari IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang), istilah kependidikan
sangat populer di kalangan akademis, baik di LPTK (IKIP dan
FKIP/FKg/FIP-Universitas), maupun non-LPTK.
Ditilik dari sisi
kebahasaan, orang awam bisa memastikan bahwa istilah kependidikan itu adalah
“perihal dunia pendidikan” sebagai kata bentukan dari asal kata “pendidik”
berawalan “ke” dan berakhiran “kan.” Akan tetapi, ditilik dari konteks dokumen
LPTK yang terdiri atas sekurangnya 5 (lima) buku yang dimaksudkan sebagai acuan
dan pedoman dalam mengembangkan pendidikan guru di Indonesia, sebetulnya arti
“kependidikan” adalah akronim dari “keguruan dan ilmu pendidikan.”
Sedangkan kata
‘profesi’ secara umum memang sering kali dilekatkan pada kata ‘kependidikan.’
Namun secara yuridis, baik dalam UU No. 2/2009, tentang sisdiknas, maupun dalam
UU No. 20/2003, tentang Sisdiknas, tidak dikenal istilah profesi kependidikan.
Kata ‘profesi’ dalam kedua Undang-undang itu dikenakan untuk suatu gelar
bersamaan dengan gelar akademik dan vokasi. Kedua Undang-undang tersebut
menggunakan dua istilah sebagai ‘pengganti’ kata profesi, yaitu ‘pendidik’ dan
‘tenaga kependidikan.’ Perihal pendidik
dan tenaga kependidikan diatur dalam Bab XI UU No. 20/2003, tentang Sisdiknas.
Pasal 39 menyatakan bahwa, (1) Tenaga Kependidikan bertugas melaksanakan
administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk
menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan; (2) Pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pada
penjelasannya disebutkan bahwa tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan
pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan,
laboran, dan teknisi sumber belajar.
Perihal pendidik, yaitu
guru dan dosen, secara yuridis diakui sebagai pekerjaan atau profesi yang
profesional dalam UU No. 14/2005, tentang Guru dan Dosen. Pada Bab I pasal 1
dinyatakan bahwa; 1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
pendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah; 2. Dosen adalah pendidik profesional
dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Sekarang menjadi jelas,
pertanyaan pertama sudah terjawab bahwa ada identitas profesi yang melekat pada
pekerjaan atau profesi di dunia keguruan dan ilmu pendidikan. Sedangkan
pertanyaan kedua terkait dengan definisi ‘profesional.’ Sebagaimana disebut
dalam UU No. 14/2005, tentang Guru dan Dosen, profesional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (Pasal 1,
Ayat 4).
Berdasarkan definisi
profesional tersebut di atas, maka profesi kependidikan, baik pendidik maupun
tenaga kependidikan seyogyanya melekat sedikitnya 6 (enam) syarat berikut ini.
1. Merupakan
jenis pekerjaan tetap, bukan pekerjaan sambilan.
2. Memerlukan
keahlian tertentu.
3. Memerlukan
kemahiran.
4. Memerlukan
kecakapan yang memenuhi standar mutu (kompetensi).
5. Memerlukan
norma (kode etik profesi).
6. Memerlukan
pendidikan profesi.
Pertanyaan selanjutnya,
apakah syarat-syarat tersebut sudah sesuai dan atau sejalan dengan kajian
akademik tentang profesi yang profesional? Guna mendapatkan pemahaman yang
komprehensif, berikut ini dikemukakan kajian akademik tentang profesi yang
profesional menurut para ahli dengan berbagai macam pendekatannya.
Good (1973), mengatakan
bahwa jenis pekerjaan atau profesi yang berkualifikasi profesional memiliki
ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri dimaksud, antara lain, memerlukan persiapan atau
pendidikan khusus bagi calon pelakunya, misalnya, pendidikan prajabatan yang
relevan; kecakapan seorang pekerja profesional dituntut memenuhi persyaratan
yang telah dibakukan oleh pihak yang berwenang, misalnya, oleh suatu
konsorsium, organisasi profesional, atau pemerintah; jabatan profesional
tersebut mendapat pengakuan dari masyarakat dan atau negara dengan segala efek
publiknya.
Tjokorda Raka Joni
(1980), mengatakan bahwa jabatan profesional perlu dibedakan dari jenis
pekerjaan yang menuntut dan dapat dipenuhi lewat pembiasaan melakukan
keterampilan tertentu seperti magang, keterlibatan langsung dalam situasi kerja
di lingkungannya, atau keterampilan kerja sebagai warisan orang tua atau
pendahulunya. Seorang pekerja profesional perlu dibedakan dari seorang teknisi.
Keduanya dapat saja tampil dengan kinerja yang sama, misalnya, menguasai teknik
kerja yang sama, menguasai prosedur kerja yang sama, dan dapat memecahkan
masalah-masalah teknis dalam bidang kerjanya. Akan tetapi, berbeda dengan
teknisi, seorang pekerja profesional masih dituntut menguasai visi yang
mendasari keterampilannya yang menyangkut wawasan filosofis, pertimbangan
rasional, dan memiliki sikap yang positif dalam melaksanakan serta
mengembangkan mutu pekerjaan atau karyanya.
Wardiman Djojonegoro
(1998), menyatakan bahwa profesionalisme dalam suatu jabatan ditentukan oleh
tiga faktor penting. Ketiga faktor tersebut adalah berikut ini.
1. Memiliki
keahlian khusus yang dipersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau
spesialisasi.
2. Kemampuan
untuk memperbaiki keterampilan dan keahlian khusus yang dikuasai.
3. Penghasilan
yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian khusus yang dimilikinya.
Vollmer & Mills
(1966), mengatakan bahwa profesi adalah sebuah jabatan yang memerlukan
kemampuan intelektual khusus, yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan
pelatihan yang bertujuan untuk menguasai keterampilan atau keahlian dalam
melayani atau memberikan advis pada orang lain, dengan memperoleh upah atau
gaji dalam jumlah tertentu. Dikatakan pula bahwa profesi berarti juga suatu
kompetensi khusus yang memerlukan kemampuan intelektual tinggi, yang mencakup
penguasaan atau didasari pengetahuan tertentu.
Berdasarkan kajian
akademik tentang profesi, banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk
menentukan apakah profesi kependidikan merupakan profesi yang profesional.
Beberapa diantaranya ialah pendekatan daftar, pendekatan karakteristik,
pendekatan institusional, dan pendekatan legalistik. Pendekatan daftar sudah
dibahas di Bab I buku ini. Sedangkan
pendekatan karakteristik antara lain dikemukakan oleh Lansbury (1978).
Pendekatan karakteristik (trait approach)
memandang bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang membedakannya
dengan pekerjaan lainnya. Para penyandang profesi dapat disebut profesional
manakala elemen-elemen inti itu sudah menjadi bagian intergral dari
kehidupannya. Hasil studi beberapa ahli mengenai sifat-sifat atau
karakteristik-karakteristik profesi itu menghasilkan kesimpulan seperti berikut
ini.
a. Kemampuan
intelektual yang diperoleh melalui pendidikan.
Pendidikan dimaksud adalah jenjang
pendidikan tinggi. Termasuk dalam kerangka ini, pelatihan-pelatihan khusus yang
berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki oleh seorang penyandang profesi.
b. Memiliki
pengetahuan spesialisasi
Pengetahuan spesialisasi adalah
sebuah kekhususan penguasaan bidang keilmuan tertentu.
c. Memiliki
pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien.
Pengetahuan khusus itu bersifat
aplikatif, dimana aplikasi didasari atas kerangka teori yang jelas dan teruji.
Makin spesialis seseorang, makin mendalam pengetahuannya di bidang itu, dan
makin akurat pula layanannya kepada klien.
d. Memiliki
teknik kerja yang dapat dikomunikasikan
e. Meiliki
kapasitas mengorganisasikan kerja secara mandiri.
Istilah mandiri di sini berarti
kewenangan akademiknya melekat pada dirinya. Pekerjaan yang dia lakukan dapat
dikelola sendiri, tanpa bantuan orang lain, mesti tidak berarti menafikan
bantuan atau mereduksi semangat kolegalitas.
f. Memetingkan
kepentingan orang lain (altruism)
g. Memiliki
kode etik
h. Memiliki
sanksi dan tanggung jawab komunitas
i. Mempunyai
sistem upah
Sistem upah yang dimaksudkan di
sini adalah standar gaji.
j. Budaya
profesional
Budaya profesi, bisa berupa
penggunaan simbol-simbol yang berbeda dengan simbol-simbol untuk profesi lain.
Pendekatan
institusional (institutional approach)
memandang profesi dari segi proses institusional atau perkembangan
asosiasional. Artinya, kemajuan suatu pekerjaan ke arah percapaian status ideal
suatu profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang harus dilalui untuk
melahirkan proses pelembagaan suatu pekerjaan menuju profesi yang sesungguhnya.
Caplow (1975) dan Wilensky (1976), menganut pendekatan ini.
Menurut Caplow (1975), yang banyak
dikutip berbagai peneliti dan ahli sosiologi profesi, ada lima tahap
profesionalisasi suatu profesi.
1. Menetapkan
organisasi profesi
Organisasi profesi merupakan sebuah
organisasi yang keanggotaanya terdiri dari orang-orang yang seprofesi,
sepekerjaan sejenis, atau seminat.
2. Mengubah
dan menetapkan pekerjaan itu menjadi suatu kebutuhan
Kebutuhan yang dimaksud di sini
adalah bahwa pekerjaan itu dibutuhkan oleh masyarakat, umumnya dalam bentuk
jasa atau layanan khusus yang bersifat khas.
3. Menetapkan
dan mengembangkan kode etik
Kode etik ini merupakan norma-norma
yang menjadi acuan perilaku. Kode etik itu bersifat mengikat bagi penyandang
profesi, dalam arti bahwa pelanggaran kode etik berarti mereduksi martabat
profesinya.
4. Melancarkan
agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat. Dukungan di sini bermakna
pengakuan. Tidak jarang pula suatu organisasi atau kelompok profesi mempunyai
kekuatan khusus (bargaining power) yang
diperhitungkan oleh masyarakat, penguasa, dunia kerja, dan lain-lain.
5. Mengembangkan
fasilitas pelatihan
Fasilitas latihan merupakan wahana
bagi penyandang profesi untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya menuju
sosok profesi yang sesungguhnya.
Sedangkan
Wilensky (1976), mengemukakan bahwa langkah-langkah untuk mendapatkan pengakuan
profesional suatu profesi adalah berikut ini.
1. Memunculkan
suatu pekerjaan yanag penuh waktu (full-time),
bukan pekerjaan sambilan
Sebutan full-time mengandung makna bahwa penyandang profesi menjadikan
suatu pekerjaan tertentu sebagai pekerjaan utamanya. Tidak berarti tidak ada
kesempatan baginya untuk melakukan usaha kerja lain sebagai pekerjaan tambahan
yang menghasilkan penghasilan tambahan pula.
2. Menetapkan
lembaga pendidikan sebagai tempat menjalani proses pendidikan atau pelatihan
Jenis profesi tertentu hanya
dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang tertentu pula, terutama perguruan
tinggi.
3. Mendirikan
asosiasi profesi
4. Melakukan
agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap
asosiasi atau perhimpunan profesi.
5. Mengadopsi
secara formal kode etik yang ditetapkan
Kode etik merupakan norma-norma
yang menjadi acuan seorang penyandang pekerjaan profesional dalam bekerja.
Pendekatan
legalistik (legalistic approach),
adalah pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh
negara atau pemerintah. Suatu pekerjaan dapat disebut profesi yang profesional
jika dilindungi oleh Undang-undang atau produk hukum yang ditetapkan oleh
pemerintah suatu negara. Menurut Friedman (1976), pengakuan atas suatu
pekerjaan menjadi suatu profesi profesional dapat ditempuh melalui tiga
tahapan, yaitu: registrasi (registration),
sertifikasi (certification), dan
lisensi (licensing).
1. Registrasi
(registration) adalah suatu aktivitas dimana seseorang yang ingin melakukan
pekerjaan profesional, terlebih dahulu rencananya harus diregistrasikan pada
kantor registrasi milik negara. Pada
saat registrasi tersebut, semua persyaratan yang diperlukan harus dipenuhi oleh
yang bersangkutan. Setelah itu diteliti persyaratannya oleh staf kantor
registrasi dan dipertimbangkan secara seksama.
2. Sertifikasi
(certification) mengandung makna, jika hasil penelitian atas persyaratan
pendaftaran yang diajukan oleh calon penyandang profesi dipandang memenuhi
persyaratan, kepadanya diberikan pengakuan oleh negara atas kemampuan dan
keterampilan yang dimilikinya. Bentuk pengakuan tersebut adalah pemberian
sertifikat kepada penyandang profesi tertentu, yang di dalamnya memuat
penjelasan tentang kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh pemegangnya,
berikut kewenangannya.
3. Lisensi
(licensing) mengandung makna, bahwa atas dasar sertifikat yang oleh seseorang ,
barulah orang tersebut memperoleh izin atau lisensi dari negara untuk
mempraktikan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, misalnya memberikan
jasa pelayanan, konsultasi atau tritmen kepada klien.
Berdasarkan
kajian akademik beberapa ahli di atas, nampak jelas bahwa definisi profesional
menurut UU No. 14/2005, tentang Guru dan Dosen, memenuhi elemen-elemen inti
yang dipersyaratkan kapan suatu profesi atau pekerjaan di dunia pendidikan
dikatakan profesional. Kajian akademik tentang profesi yang profesional melekat
pula pada ketentuan tentang hak dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 40, UU No. 20/2003, tentang Sisdiknas sebagai
berikut.
1. Pendidik
dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
a.
Penghaasilan dan jaminan kesejahteraan
sosial yang pantas dan memada;
b.
Penghargaan sesuai dengan tugas dan
prestasi kerja;
c.
Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan
pengembangan kualitas;
d.
Perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan
e.
Kesempatan untuk menggunakan sarana,
prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
tugas.
2. Pendidik
dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a.
Menciptakan suasana pendidikan yang
bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
b.
Mempunyai komitmen secara profesional
untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
c.
Memberi teladan dan menjaga nama baik
lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan
kepadanya.
Sedangkan perihal sertifikasi dan imbal
jasa sebagai salah satu elemen profesi yang profesional sudah tertera dalam Pasal
42 UU No. 20/2003, tentang Sisdiknas yang mengatur bahwa: (1) Pendidik harus
memilili kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan
mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional; (2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang
pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pandidikan menengah, dan pendidikan
tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi. Sedangkan pasal 43
UU No. 20/2003, tentang Sisdiknas mengatur bahwa: (1) Promosi dan penghargaan
bagi peserta didik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang
pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan;
(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki
program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
B.
RUANG LINGKUP PROFESI KEPENDIDIKAN
Berdasarkan kajian akademik dan
pendekatan legalistik sebagaimana dideskripsikan sebelumnya, maka ruang lingkup
profesi kependidikan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu profesi
pengajaran (teaching profession) yang dalam konteks Indonesia disebut tenaga
pendidik, yaitu tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widya-iswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan, dan bukan pendidik (non-teaching profession),
yaitu tenaga kependidikan terdiri atas sejumlah profesi yang sebagian besar
diantaranya memperoleh status profesi sebagai jabatan fungsional dari
pemerintah.
Beberapa
profesi yang termasuk dalam ruang lingkup profesi kependidikan dimaksud antara
lain berikut ini.
1.
Guru
Undang-undang (UU) No.
20/2003 tentang Sisdinas; UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; PP No 74/2008
tentang Guru, mendefisikan guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan melatih, menilai, dan megevaluasi
pesera didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesi guru dikukuhkan sebagai
jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No 87/1999 tentang Rumpun
Jabatan Fungsioanal Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi No. 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Pengertian jabatan fungsional guru adalah jabatan fungsional yang mempunyai
ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan megevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang diduduki oleh PNS.
2.
Dosen
Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU
No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; PP No.37/2009 tentang dosen, mendefisikan
dosen sebagai pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
tekhnologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat. Profesi dosen dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan
Keputusan Presiden No. 87/1999, tentang Rumpun Jabatan Fungsioanal Pegawai
Negeri Sipil (PNS), dan keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan
Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (MENKOWASBANGPAN) No. 38/KEP/MK.
WASPAN/8/1999 tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya, yang kemudian
disempurnakan melalui Peraturan Men-PAN No. PER/60/M. PAN/6/2005. Dosen
berkedudukan sebagai pejabat fungsional dengan tugas utama mengajar pada
perguruan tinggi.
3.
Pengelola
Satuan Pendidikan
Sesuai denagan UU No
20/2003 tentang Sisdiknas; PP No.17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan; PP No. 66/2010 tentang Perubahan terhadap PP N0. 17/2010, yang
dimaksud dengan pengelola satuan pendidikan adalah pemegang pengaturan
kewenangan dalam penyelenggaraansistem pendidikan nasional, yaitu pemerintah,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kot, penyelenggra pendidikan yang
didirikan yang didirikan masyarakat, dan satuan pendidikanagar proses
pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam
bahasa tekhnis, pengelola satuan pendidikan adalah para manajer dan birokrat
pendidikan, baik dalam lingkungan pemeriontah maupun swasta.
4.
Penillik
Profesi penilik dikukuhkan sebagai jabatan
fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No. 87/1999, tentang Rumpun Jabatan
Fungsioanal Pegawai Negeri Sipil (PNS); dan berdasarkan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi No. 14 tahun 2010 tentang jabatan Fungsional Penilik dan Angka
Kreditnya. Penilik adalah tenaga kependidikan dengan tugas utama melakukan
kegiatan pengendalian mutu dan evaluasi dampak program pendidikan anak usia
dini (PAUD), pendidikan kesetaraan dan keaksaraan, serta kursus pada jalur
Pendidikan Non-Formal dan Informal (PNFI). Jabatan fungsional adalah jabatan
fungsional yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang
untuk melakukan kegiatan pengendalian mutudan evaluasi dampak PAUD, pendidikan
kesetaraan dan keaksaraan, serta kursus pada jalur PNFI sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang diduduki oleh PNS. Menurut PP No. 19 /tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, dalam Pasal 40 dinyatakan bahwa kriteria
minimal untuk menjadi penilik adalah: a. Berstatus sebagai pamong
belajar/pamong atau jabatan sejenisdilingkungan pendidikan luar sekolah dan
pemuda sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, atau pernah menjadi pengawas Satuan
Pendidikan formal.; b. Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai
agen pembelajaran seseuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c.
Memiliki sertifikat pendidikan fungsional sebagai penilik; d. Lulus seleksi
sebagai pendidik.
5.
Pamong
Belajar
Profesi pamong belajar
dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No.
87/1999, tentang Rumpun Jabatan Fungsioanal Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan
berdasarkan peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 15 tahun 2010 tentangJabatan
Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya. Pamong belajar adalah pendidik dengan tugas utama melakukan
kegiatan belajar mengajar, pengkajian program, dan pengembangan model PNFI pada
Unit Pelaksana tekhnis daeerah (UPTD) dan satuan PNFI. Jabatan Fungsional
Pamong Belajar adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung
jawab dan wewenang untuk melakukan kegiatan belajar mengajar, pengkajian
program, dan pengembangan modelPNFI pada UPT/UPTD dan satuan PNFI sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang diduduki PNS.
6.
Pengawas
Profesi pengawas satuan
pendidikan dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden
No.87/1999, tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS; Keputusan MENPAN no.118/1996
tentang jabatan fungsional pengawas sekolah dana anggota kreditnya; keputusan
bersama mendikbud dan kepala BAKN No. 0322/O/1996 dan No.38 tahun 1996 tentang
petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawasan sekolah dan angka kreditnya;
keputusan mendikbud No. 020/U/1998 tentang petunjuk tekhnis pelaksanaan jabatan
fungsional pengawas sekolah dan kreditnya; dan permendiknas No. 19 tahun 2005
tentang jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya. Pengawas
satuan pendidikan adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang
secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan
disekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi tekhnis
pendidikan dan administrasi. Menurut PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, dalam pasal 39 dinyatakan bahwa kriteria minimal untuk
menjadi Pengawas Satuan Pendidikan meliputi; 1. Berstatus sebagai guru
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun atau Kepala Sekolah Sekurang-kurangnya
4(empat) tahun pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan satuan pendidikan
yang diawasi; 2. Memiliki sertifikat pendidikan fungsional sebagai pengawas
satuan pendidikan; 3. Lulus seleksi sebagai Pengawas Satuan Pendidikan.
7.
Pustakawan
Profesi pustakawan
dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No.
87/1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS, KEPMEMPAN Nomor 12 tahun 20o2
tentang jabatan Fungsional Pustakawan dan angka kreditnys. Jabatan Fungsional
Pustakawan terdiri dari dua tingkat yaitu Pustakawan Terampil dan pustakawan
Tingkat Ahli. Jabatan Fungsional pustakawan pada umumnya PNS terkait dengan
masalah profesionalisme. Profesionalisme pustakawn tercermin pada kemampuan
(pengetahuan, pengalaman, ketrampilan) dalam mengelola dan mengembangkan
pelaksanaan pekerjaandibidang kepustakawan dan kegiatan terkait lainnya secara mandiri. Peningkatan karir
jabatan fungsional pustakawan sangat banyak ditentukan oleh kemauan individual
dan kemandirian. Secara individual setiap pejabat fungsional pustakawan harus
melaporkan hasil pelaksanaan pekerjaannya yang akan diberi bobot angka kredit
untuk setiap jenis kegiatan sesuai dengan jenjang jabatannya.
8.
Pranata
Laboratorium (Laboran)
Profesi pranata
laboratorim (laboran) dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan
keputusan presiden No. 87/1999tentang rumpun jabatan fungsional PNS; dan
peraturan menteri negara pemberdayaan aparatur negara dan reformasi birokrasi
nomor 03 tahun 2010 tentang jabatan fungsional pranata laboratorium pendidikan
dan angka kreditnya, pranata laboratorim adlah jabatan fungsional dalam dunia
pendidikan yang sebelumnya dikenal dengan laboran. Pranata laboran pendidikan
(PLP) adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenang
untuk melakukan pengelolaan laboratorium pendidikan yang diduduki oleh PNS
dengan hak dan kewajiban yang diberikan secara penuh oleh pejabat yang
berwenang jabatan fungsional PLP sebagaimana yang dimaksugd adalah jabatan
karier yang hanya dapat diduduki oleh seorang yang telah berststus sebagai PNS.
Tugas pokok PLP adalah mengelola laboratoriun, pengoprasian peralatan, dan
bahan, pengevaluasian, sistem kerja laboratorium baik untuk pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
9.
Tekhnisi
Sumber Belajar
Profesi tekhnisi sumber
belajar dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden
No.87/1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS, dan melalui Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 45 tahun 2009 tentang Standar
Tekhnisi Sumber Belajar Pada Kursus dan Pelatihan.
Untuk kepentingan
penulisan buku ini, tidak semua profesi kependidikan dibahas. Hanya beberapa
saja yang dipandang relevan diketengahkan pada bab-bab selanjutnya.
C.
ISU PRESENTASI DAN SEMINAR
Sebagaimana diketahui, tidak semua
profesi kependidikan terangkum dalam bab ini, bahkan sebagian diantaranya
sebetulnyainheren dengan profesi guru sebagai syarat utamanya. Bagaimana dengan
pekerjaan peneliti dan pengembang pendidikan? Bahaslah profesi tersebut apakah
merupakan profesi kependidikan profesional? Gunakan kajian akademik
profesionalisasi sebagai acuan untuk membahasnya.
BAB
III
GURU
SEBAGAI PROFESI KEPENDIDIKAN
Setelah mempelajari ini mahasiswa
diharapkan memiliki kompetensi berikut ini:
1. Menjelaskan
profil dan identitas profesi guru
2. Mengartikulasikan
kembali tugas utama dan kedudukan profesi guru
3. Menguraikan
kompetensi yang dipersyaratkan profesi guru
4. Mengungkapkan
berbagai dimensi pengembangan karier profesi guru dan kompleksitas
problematikanya.
A.
PROFIL
DAN IDENTITAS PROFESI
Selama lebih dari lima
dasa warsa para ahli memperdebatkan idealisasi tenaga pengajar dan berupaya
mengkristalkannya sebagai profesi professional. Menurut istilah Brian Rowan
sebagaimana ditulis dalam Comparing
Teachers’ Work With Work in Other Occupations:
Notes on The Profesional Status of Teaching (1994), hal itu disebut
profesiisme. Suatu upaya untuk menerapkan faham profesi terhadap jabatan tenaga
pengajar (baca: guru) dan membandingkannya dengan jabatan lain sehingga
menjadikan profesi guru sebagai jabatan professional yang bias dibandingkan
karakteristisknya dengn profesi lain.
Pada tingkat wacana,
upaya itu sudah banyak menunjukan hasil. Di Amerika Serikat misalnya, menurut The Dictionary of Occupational Titles (1991)
yang diterbitkan Departemen Tenaga Kerja AS, jabatan tenaga pengajar tercantum
sebagai profesi dalam kelompok jabatan kependidikan dengan kode K-12 (Education Occupations). Termasuk dalam
kelompok ini antara lain guru pendidikan dasar dan menengah, asisten guru,
kepala sekolah, dan guru pembimbing.
Maksud profesiisme
adlah untuk menunjukkan btapa kompleks pekerjaan guru berkaitan dengan manusia
dan alat-alat. Kira-kira sama kompleks dengan pekerjaan seorang dokter. Tujuan
akhir dari pembuktian itu ialah memperbaiki kedudukan status social guru yang
berimplikasi pada tingginya imbal jasa professional. Namun agaknya upaya itu
belum sepenuhnya berhasil. Sebagai suatu contoh, di Amerika Serikat imbal jasa
terhadap guru rata-rata hanya 1,7 pendapatan per kapita Negara itu tiap
bulannya. Bandingkan dengan Jepang yang member imbal jasa rata-rata 2,4 kali
pendapatan per kapitanya (Mutrofin: 2007).
Bagaimana dengan
profesi guru di Indonesia? Episode perjuangan bangsa mencatat, sebagaimana
ditulis Mutrofin (2007), profesi guru sangat disegani penguasa colonial Hindia
Belanda bersama dengan profesi dokter, jaksa, serta “pokrol bambu” alias
pengacara. Itulah babak ketika profesi ini menjadi semacam pekerjaan yang
menantang kaum muda di zamannya. Terutama mereka yang terpanggil untuk berbuat
“sesuatu” bagi bangsanya. Karenanya tak mengherankan jika kemudian melahirkan
aktivis politik yang menentang penjajahan Belanda dan sebagian besar terdiri
atas guru-guru muda. Sebut misalnya Bung Hatta. Pada masa revolusi, dari
kalangan mereka sebagian tak lagi mengajar, melainkan bertempur seperti halnya
Panglima Besar Soedirman dan AH Nasution.
Namun tak ada guru yang
begitu disegani seperti Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara. Ia bukan
saja seorang pendidik tapi juga peletak pergerakan dasar nasional. Keturunan
pangeran Sri Paku Alam III inilah yang bersama-sama dengan Dr Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Douwes Deker mendirikan partai politik pertama di tanah air
pada tahun 1912 dengan nama Indisbe
Partij sehingga mengakibatkan ketiganya dibui dan diasingkan ke negeri
Belanda. Guru lain yang juga populer dalam sejarah karena kontak intensifnya
dengan dunia politik tercatat Ki Sarino, Perumus konsep falsafah pendidikan
Indonesia yang pernah menjabat sebagai Wakil Residen Pati dan Menteri
Pendidikan pada masa Bung Karno. Guru pertanian Ki Sarino yang mendapat gelar
Doktor Honoris Causa dari IKIP Malang pada 1976.
Profil dan identitas
profesi guru sepanjang sejarahnya mengalami pasang surut yang luar biasa.
Berbeda dengan masa colonial, pada masa Orde Lama dan Orde Baru, profesi guru
boleh dibilang “profesi kelas dua” (Sudarwan Danim, 2010). Hal itu bukan saja
disebabkan karena pada umumnya menjadi guru adalah “panggilan jiwa” namun juga
disebabkan banyaknya mitos yang dilekatkan kepada profesi guru yang nyaris membuat
para guru “tersandera”. Pada masa-masa iru profesi guru dipandang sebelah mata.
Guru, seperti yang dinyatakan oleh Ernest
House, telah dibelenggu kondisi economic
scarcity dan issolated profesion,
suatu kondisi yang menyebabkan dirinya miskin dan terasing di lingkungannya.
Daya tawar-menawar para guru yang tergolong silent majority itu sangat minimal.
Sehingga seolah-olah sudah menjadi kodrat bahwa guru – meinjam istilah Mutrofin
(2007) – ibarat “sapi perah” yang harus siap diambil sari madunya, diperas
manfaatnya, diperlukan tenaganya, tetapi tetap dibiarkan bergumul
penderitaan,ata u ibarat “sandal jepit”, kumuh dan diinjak-injak namun tetap
dibutuhkan.
Pada masa Orde Baru,
pemberlakuan Undang-Undang No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN); Peraturan Pemerintah (PP) No 38/1992 tentang Tenaga Kependidikan; dan
SK Men-PAN No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya,
belum signifikan “mengubah” profil dan identitas profesi guru dimata
masyarakat, lebih-lebih dikalangan akademisi dan dunia tenaga kerja.
Kini,
zaman telah berubah. Perjuangan panjang untuk menjadikan profesi guru sebagai
profesi yang professional hampir menampakkan hasil yang signifikan. Terutama
setelah terjadi pembaruan pendidikan dan pengembangan profesi guru dan
“ketatnya” persyaratan untuk menjadi guru. Pengakuan bahwa profesi guru adalah
profesi yang professional semakin kukuh dengan diberlakukanya Keputusan
Presiden No. 87/1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil
(PNS); Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; PP No.
74/2008 tentang Guru; Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi No. 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya; dan Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN No:
03/V/PB/2010, Nomor: 14 Tahun 2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Guru didefinisikan
sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Profesi guru adalah jabatan fungsional yang memiliki ruang linigkup,
tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar
dan pendidikan menengah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
diduduki oleh PNS.
Jabatan
fungsional guru adalah jabatan tingkat keahlian termasuk dalam rumpun
pendidikan tignkat taman kanak-kanak, dasar, lanjutan, dan sekolah khusus.
Jenis guru berdasarkan sifat, tugas, dan kegiatannya meliputi berikut ini:
1. Guru
Kelas
Guru kelas adalah guru yang
mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam proses
pembelajaran seluruh mata pelajaran di kelas tertentu di TK/RA/BA/TKLB dan
SD/MI/SDLB dan yang sederajat, kecuali mata pelajaran pendidikan jasmani dan
kesehatan serta pendidikan agama.
2. Guru
Mata Pelajaran
Guru mata pelajaran adalah guru
yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam
proses pembelajaran pada suatu mata pelajaran tertentu di sekolah/madrasah.
3.
Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor
Guru Bimbingan dan
Konseling/Konselor adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang,
dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah
peserta didik.
Jenjang
jabatan fungsional guru dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, yaitu:
a. Guru pertama (Penata Muda, golongan ruang III/a; dan Penata Muda Tingkat I,
golongan ruang III/b); b. Guru Muda(Penata, golongan ruang III/c; dan Penata
Tingkat I, golongan ruang III/d); c. Guru Madya (Pembina, golongan ruang IV/a;
Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b; dan Pembina Utama Muda, golongan ruang
IV/c); dan d. Guru Utama(Pembina Utama Madya, golongan ruang IV/d; dan Pembina
Utama, golongan ruang IVe).
B.
KEDUDUKAN
DAN TUGAS POKOK
Menurut Brandt (1993),
hamper seluruh upaya reformasi pendidikan seperti pembaruan kurikulum,
pelaksanaan metode mengajar baru pada akhirnya bergantung pada guru. Tanpa guru
menguasai bahan pelajaran dan strategi belajar mengajar, tanpa guru dapat mendorong
siswa dapat mencapai prestasi tinggi, segala upaya meningkatkan mutu pendidikan
tak akan berhasil optimal. Dengan kalimat lain, mutu pendidikan akan terjamin
jika didukung oleh guru-guru yang professional.
Dalam konteks
Indonesia, gruru berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang
pembelajaran/bimbingan dan tugas tertentu pada jenjang pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Hal
itu berarti kedudukan guru dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan bimbingan
dan konseling merupakan kedudukan sentral yang tidak mungkin tergantikan
posisinya, oleh mesin sekali pun. Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan guru
dalam menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran yang bermutu, menilai
dan mengevaluasi hasil pembelajaran, menyusun dan melaksanakan program
perbaikan dan pengayaan terhadap peserta didik. Sedangkan kegiatan bimbingan
dan konseling adalah kegiatan guru dalam menyusun rencana bimbingan dan
konseling, melaksanakan bimbingan dan konseling, mengevaluasi proses dan hasil
bimbingan dan konseling, serta melakukan perbaikan tindak lanjut bimbingan dan
konseling dengan memanfaatkan hasil evaluasi.
Tugas utama guru adalah
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta tugas tambahan yang relevan
dengan fungsi sekolah/ madrasah. Beban kerja guru untuk mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, dan/atau melatih sebagaimana dimaksud paling sedikit
24(duapuluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40(empat puluh) jam tatap
muka dalam 1 (satu) minggu. Beban kerja Guru bimbingan dan konseling/ konselor
adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikiy 150 (seratus limapuluh)
peserta didik dalam 1 (satu) tahun.
Guru
memiliki kewajiban, tanggung jawab, dan wewenang. Kewajiban guru dalam
melaksanakan tugas adalah berikut ini:
a. Merencanakan
pembelajaran/ bimbingan, melaksanakan pembelajaran/ bimbingan yang bermutu,
menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran/ bimbingan, serta melaksanakan
pembelajaran/ perbaikan dan pengayaan;
b. Meningkatkan
dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
c. Bertindak
objektif dan tidak diskriminatif atas pertimbangan jenis kelamin, agama, suku,
ras, dan kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, dan status social
ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. Menjungjung
tinggi peraturan perundang-undangan, hokum, dank ode etik Guru, serta nilai
agama dan etika; dan
e. Memelihara
dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Guru bertanggung jawab
menyelesaikan tugas utama dan kewajiban sebagai pendidik sesuai dengan yang dibebankan
kepadanya. Guru berwenang memilih dan menentukan materi, strategi, metode,
media pembelajaran/bimbingan, dan alat penilaian/evaluasi dalam melaksanakan
proses pembelajaran/ bimbingan untuk mencapai hasil pendidikan yang bermutu
sesuai dengan kode etik profesi Guru. Terkait soal kewenangan tersebut, menarik
diperhatikan pandangan Sheldon Shaeffer – pakar pendidikan dari unicef (1995) -
dalam Mutrofin (2007), yang menyatakan, karena guru ibarat bukan keranjang yang
diisi penuh lalu dikeluarkan lagi untuk murid-muridnya, maka guru harus diberi
kemerdekaan mengajar dalam kelas, dibebaskan dari aturan-aturan ketat dari atas
dan diberi kebebasan dalam berinovasi.
Rincian kegiatan Guru
Kelas yang mendapatkan pengakuan sebagai kinerja profesi adalah berikut ini:
a.
menyusun kurikulum pembelajaran pada
satuan pendidikan;
b.
menyusun silabus pembelajaran;
c.
menyusun rencana pelaksanaan
pembelajaran;
d.
melaksanakan kegiatan pembelajaran;
e.
menyusun alat ukur/soal sesuai mata
pelajaran;
f.
menilai dan mengevaluasi proses dan
hasil belajar pada mata pelajaran dikelasnya;
g.
menganalisis hasil penilaian
pembelajaran;
h.
melaksanakan pembelajaran/perbaikan dan
pengayaan dengan memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi;
i.
melaksanakan bimbingan dan konseling di
kelas yang menjadi tanggung jawabnya;
j.
menjadi pengawas penilaian dan evaluasi
terhadap proses dan hasil belajar tingkat sekolah dan nasional;
k.
membimbing guru pemula dalam program
induksi;
l.
membimbing siswa dalam kegiatan
ekstrakurikuler proses pembelajaran;
m.
melaksanakan pengembangan diri;
n.
melaksanakan publikasi ilmiah; dan
o.
membuat karya inovatif.
Rincian kegiatan Guru
Mata Pelajaran yang mendapatka pengakuan sebagai kinerja profesi adalah berikut
ini:
a. menyusun
kurikulum pembelajaran pada satuan pendidikan;
b. menyusun
silabus pembelajaran;
c. menyusun
rencana pelaksanaan pembelajaran;
d. melaksanakan
kegiatan pembelajaran;
e. menyusun
alat ukur/soal sesuai mata pelajaran;
f. menilai
dan mengevaluasi proses dan hasil belajar pada mata pelajaran yang diampunya;
g. menganalisis
hasil penilaian pembelajaran;
h. melaksanakan
pembelajaran/perbaikan dan pengayaan dengan memanfaatkan hasil penilaian dan
evaluasi;
i. menjadi
pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat
sekolah dan nasional;
j. membimbing
guru pemula dalam program induksi;
k. membimbing
siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran;
l. melaksanakan
pengembangan diri;
m. melaksanakan
publikasi ilmiah; dan
n. membuat
karya inovatif.
Rincian kegiatan Guru
Bimbingan dan Konseling yang mendapatkan pengakuan sebagai kinerja profesi
adalah sebagai berikut:
a. menyusun
kurikulum bimbingan dan konseling;
b. menyusun
silabus bimbingan dan konseling;
c. menyusun
satuan layanan bimbingan dan konseling;
d. melaksanakan
bimbingan dan konseling per-semester;
e. menyusun
alat ukur/lembar kerja program bimbingan dan konseling;
f. mengevaluasi
proses dan hasil bimbingan dan konseling;
g. menganalisis
hasil bimbingan dan konseling;
h. melaksanakan
pembelajaran/perbaikan tindak lanjut bimbingan dan konseling dengan
memanfaatkan hasil evaluasi;
i. menjadi
pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat
sekolah dan nasional;
j. membimbing
guru pemula dalam program induksi;
k. membimbing
siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran;
l. melaksanakan
pengembangan diri;
m. melaksanakan
publikasi ilmiah; dan
n. membuat
karya inovatif.
Selain itu, guru dapat
melaksanakan tugas tambahan dan/atau tugas lain yang relevan dengan fungsi
sekolah/madrasah sebagai:
a. kepala
sekolah/madrasah;
b. wakil
kepala sekolah/madrasah;
c. ketua
program keahlian atau yang sejenisnya;
d. kepala
perpustakaan sekolah/madrasah;
e. kepala
laboratorium, bengkel, unit produksi, atau yang sejenisnya pada
sekolah/madrasah; dan
f. pembimbing
khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi.
C.
PROFESIONALISME
DAN KOMPETENSI
Menurut Moh. Uzer Usman
(1991) dalam Sudarwan Danim (2010), guru merupakan suatu profesi yang artinya
suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru.
Jenis pekerjaan ini mestinya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang diluar bidang
kependidikan. Berdasarkan pandangan tersebut seharusnya setiap penyelenggara
dan pengelola satuan pendidikan, baik negeri maupun swasta tidak boleh
mengangkat sembarang orang menjadi guru, dengan alas an otonomi daerah
sekalipun. Jika kemudahan mengangkat sembarang orang menjadi guru terus
dilakukan, maka dampaknya kan luar biasa. Selain menumpulkan kembali
profesionalitas profesi (deskilled
profession) yang berakhir pada tidak tercapainya tujuan pendidikan
nasional.
Terkait dengan
profesinalisme profesi guru, unsure terpenting yang relevan dipenuhi sebagi
persyaratan umum menjadi guru minimal ada tiga hal yaitu, kualifikasi akademik,
penguasaan sejumlah kompetensi sebagai ketrampilan atau keahlian khusus yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas mendidik dan mengajar secara efektif dan
efisien; serta sertifikasi bagi para guru yang dipandang memenuhi kedua syarat
sebelumnya; dan tentu saja harus sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Hingga buku ini
ditulis, kualifikasi akademik guru sebagaimana dimaksud ditunjukkan dengan
ijazah yang merefleksi kemampuan yang dipersyaratkan bagi guru untuk
melaksanakan tugas sebagai pendidik pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan
atau mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan S-1 atau program D-IV
pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga
kependidikan dan/atau program pendidikan non-kependidikan. Kualifikasi akademik
guru bagi calon guru dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi guru.
Sementara kualifikasi akademik bagi guru dalam jabatan diperoleh melalui
pendidikan kesetaraan dan pendidikan lain sebagaimana diatur oleh peraturan
perundang-undangan tentang pendidikan nasional dan guru.
Terkait kompetensi,
Muhibin Syah (1995) dalam Sudarwan Danim (2010) menjelaskan bahwa pengertian
dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Kompetensi guru berkaitan
dengan profesionalisme. Guru yang professional adalah guru yang kompeten
(berkemampuan). Karena itu kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan
sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya
dengan kemampuan tinggi.
Sudah sering dibahas
bahwa trigger kualitas profesi guru
sangat beragam. Keragaman korelat mutu ini sangat memaksa pengelolaan proofesi
guru menjadi multidimensional. Tidak ada solusi unilateral yang begitu hebat
untuk mengatrol kualitas guru dimanapun di dunia. Dari aras institusi misalnya,
persiapan calon tenaga guru (preservice
education) tidak melulu mengandalkan
instrument masukan berupa calon guru yang memiliki standar kognitif cemerlang.
Lebih dari itu juga diperlukan tenaga dosen dan fasilitas pembelajaran dan
pelatihan yang sesempurna mungkin.
Dari
catatan riset tentang status profesional pengajaran di Amerika Serikat
sebagaimana diungkap Brian Rowan (1994) dalam Comparing Teacher’s work With Work in Other Ocuppations, masing-masing Negara
bagian menetapkan parameter dan standar kualitas yang berbeda-beda. Namun
secara substansial, semua sepakat bahwa profesi guru memiliki kompleksitas
kerja yang sangat tinggi dan professional karena didului oleh persiapan
pendidikan yang memadai. Substansi ini berlaku untuk berbagai definisi tentang
status proofesional guru, baik sebagai buruh, pekerja terampil, pekerja seni
maupun sebagai profesi professional. Oleh karena itu, ada abstraksi umum,
selain calon guru harus well educated
juga mestilah well trained dan well paid (Mutrofin, 2007).
Terkait
abstraksi terakhir, melalui serangkaian riset, Reyes (1990) dalam Teachers and their Workplace: Commitment, Performance, and Productivity,
sampai pada bahan untuk peningkatan
on-the-job learning, kesehatan psikologis dan kepuasan kerja. Ketiga kebutuhan
dimaksud jelas tidak mungkin disediakan oleh institusi penghasil guru,
melainkan hidup dinamis seiring dengan kebijakan nasional di bidang keguruan
dan apresiasi msyarakat pemakai tenaga guru.
Berdasarkan kenyataan
itu, sangat jelas bahwa korelat profesi guru yang professional dan berkualitas
tak seluruhnya menjadi tanggung jawab institusi pencetak tenaga guru.
Pemerintah dan masyarakat turut pula memikulnya.
Dalam
menentukan profesionalisme dan kompetensi seorang guru, banyak kajian akademik
bias diketengahkan. Kajian paling lengkap dikemukakan oleh Kellough (1998)
dalam Sudarwan Danim (2010). Menurut Kellough, kompetensi profesi guru mencakup
elemen inti berikut ini:
a.
Guru harus menguasai pengetahuan tentang
materi pelajaran yang diajarkannya.
b.
Guru merupakan anggota aktif organisasi
profesi guru, membaca jurnal professional, melakukan dialog dengan sesame guru,
mengembangkan kemahiran metodologi, membina siswa dan materi pelajaran.
c.
Guru memahami proses belajar dalam arti
siswa memahami tujuan belajar, ahrapan-harapan dan prosedur yang terjadi
dikelas.
d.
Guru adalah “perantara pendidikan” yang
tidak perlu tahu segala-galanya, tetapi paling tidak tahu bagaimana dan dimana
dapat memperoleh pengetahuan.
e.
Guru melaksanakan perilaku sesuai model
yang diinginkan didepan siswa.
f.
Guru terbuka untuk berubah, berani
mengambil resiko dan siap bertanggung jawab.
g.
Guru tidak berprasangka gender,
membedakan jenis kelamin, etnis, agama, penderita cacat dan status social.
h.
Guru mengorganisasi kelas dan
merencanakan pelajaran secara cermat.
i.
Guru merupakan komunikator-komunikaator
yang efektif.
j.
Guru harus berfungsi secara efektif
sebagai pengambil keputusan.
k.
Guru harus secara konstan meningkatkan
kemampuan, misalnya dalam strategi mengajar.
l.
Guru secara nyata menaruh perhatian pada
kesehatan dan keselamatan siswa.
m.
Guru harus optimis terhadap kondisi
belajar siswa dan menyiapkan situasi belajar yang positif dan konstruktif.
n.
Guru memperlihatkan rasa percaya diri
pada setiap kemampuan siswa untuk belajar.
o.
Guru harus terampil dan adil dalam
menilai proses dan hasil belajar siswa.
p.
Guru harus memperlihatkan perhatian
terus menerus dalam tanggung jawab professional dalam setiap kesempatan.
q.
Guru harus terampil bekerja dengan orang
tua atau wali, sesama guru, administrator, dan memelihara hubungan baik sesuai
etika professional.
r.
Guru memperlihatkan minat dan perhatian
luas tentang berbagai hal.
s.
Guru sebaiknya memiliki humor yang sehat.
t.
Guru harus mampu mengenali secara cepat
siswa yang memerlukan perhatian khusus.
u.
Guru harus melakukan usaha khusus untuk
memperlihatkan bagaimana materi pelajaran berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari.
v.
Guru hendaknya dapat dipercaya, baik
dalam membuat perjanjian maupun kesepakatan.
Laporan utama jurnal Educational Leadership edisi Maret 1993,
mengetngahkan lima ukuran seorang guru dikatakan professional, yakni: (1)
memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya; (2) menguasai secara
mendalam bahan ajar dan caara mengajarkannya; (3) bertaanggungjawab memantau
kemajuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi; (4) mampu berfikir
sistematis dalam melakukan tugasnya; dan (5) seyogyanya menjadi bagian dari
masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Adapun kompetensi guru
sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia meliputi kompetensi
pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi guru
bersifat holistik, tidak bagian per bagian atau berdiri sendiri.
Kompetensi pedagogic
merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang
sekurang-kurangnya meliputi:
a. Pemahaman
wawasan atau landasan kependidikan;
b. Pemahaman
terhadap peserta didik;
c. Pengembangan
kurikulum atau silabus;
d. Perancangan
pembelajaran;
e. Pelaksanaan
pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f. Pemanfaatan
teknologi pembelajaran;
g. Evaluasi
hasil belajar; dan
h. Pengembangan
peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi
kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang:
a. beriman
dan bertakwa;
b. berakhlak
mulia;
c. arif
dan bijaksana
d. demokratis;
e. mantap;
f. berwibawa;
g. stabil;
h. dewasa;
i. jujur;
j. sportif;
k. menjadi
teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
l. secara
objektif mengevaluasi kinerja sendiri; dan
m. mengembangkan
diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi sosial
merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya
meliputi kompetensi untuk:
a. berkomunikasi
lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun;
b. menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;
c. bergaul
secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan,
pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik.
d. bergaul
secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta system
nilai yang berlaku; dan
e. menerapkan
prinsip persaidaraan sejati dan semangat kebersamaan.
Kompetensi professional
merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi
penguasaan:
a. materi
pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan
pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu;
dan
b. konsep
dan metode disiplin keilmuan, teknologi atau seni yang relevan, yang secara
konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata
pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
Sebagaimana dikatakan
Friedman (1976), pengakuan atas suatu pekerjaan menjadi suatu profesi
professional dapat ditempuh melalui tiga tahapan. Tahapan kedua setelah
seseorang dianggap memenuhi persyaratan sebagai guru ialah sertifikasi (certification). Sertifikasi (certification) mengandung makna
pemberian pengakuan oleh Negara atas kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya.
Bentuk pengakuan tersebut adalah pemberian sertifikat kepada penyandang
profesi, yang didalamnya memuat penjelasan tentang kemampuan dan ketrampilan
yang dimiliki oleh pemegangnya, berikut kewenangannya. Sertifikasi dengan demikian adalah proses
pemberian sertifikat pendidik untuk guru, sedangkan sertifikat pendidik adalah
bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga
professional.
Di Indonesia, sertifikat pendidik bagi
guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan
ditetapkan oleh pemerintah. Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud
hanya diikuti oleh peserta didik yang telah memiliki kualifikasi akademik S-1
atau D-IV sesuai dengan peraturan prundang-undangan. Delapan belas bulan
setelah UU. No. 14/2005 tentang Guru Dan Dosen diberlakukan, pemerintah
melaksanakan program sertifikasi pendidik.
D.
PENDIDIKAN, PENGEMBANGAN DAN PENILAIAN KINERJA
1.
Pendidikan Guru
Pendidikan guru di
Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang sejak masa kolonial hingga pasca
kemerdekaan. Akan tetapi, titik berangkat pembaruan pendidikan guru secara signifikan
dapat dikatakan terjadi sejak tahun 1979. Setelah bekerja keras selama empat
tahun sejak 1975, Konsorium Ilmu Pendidikan berhasil menelurkan Pedoman Pola
Pembaruan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan (PP-SPTK) pada 1979. PP-SPTK
yang terdiri atas lima buku pedoman itu, dianggap banyak kalangan sebagai
langkah mendasar dalam memperbaiki profesionalisme guru dari sisi institusi.
Banyak orang menyangka akan terjadi “revolusi” dalam hal mutu pendidikan
sebagai imbasnya. Faktanya, justru banyak yang malah kecewa. Sepanjang waktu
lebih dari empat belas tahun sejak lahirnya pembaruan itu, tak henti-hentinya
orang mempersoalkan betapa profesionalisme para guru melorot terus. Meskipun
upaya tambal sulam lain juga dilakukan.
Hal itu disebabkan
karena kita “menjiplak” begitu saja sistem pendidikan guru sebagaimana berlaku
di Amerika. Konsep Pendidikan Guru Berbasis Kompetensi (Competence-Based Teacher Education/CBTE) diterapkan tanpa respek
apapun. Maksunya, tidak memperhitungkan kesiapan lembaga pendidikan guru, baik
ditinjau dari segi tenaga pendidik, sarana dan prasarana, perpustakaan
mendukung, serta budaya belajar. Padahal CBTE itu bertujuan agar para calon
guru kelak dapat menjadi guru profesional, memiliki profil kompetensi seperti
diharapkan.
Dari berbagai diskusi
mengenai CBTE, lahirlah sepuluh profil kemampuan dasar (kompetensi) guru.
Keseluruh profil kompetensi itu lantas menjadi ukuran profesionalisme guru,
ukuran guru ideal. Secara teoritis, kesepuluh profil kompetensi memang bagus.
Tetapi dalam pelaksanaannya tidak measurable
(sukar diukur). Instrumen pengukurannya belum diciptakan. Alhasil, jadilah
sepuluh profil kompetensi hanya sebatas wacana. Bahkan kajian yang dari waktu
ke waktu dijejalkan kepada para calon guru. Dalam kaitan ini kita percaya,
ukuran memang bisa beragam, bergantung pada siapa yang mengukur. Keberagaman
itu berimplikasi pada pembianaan yang berbeda-beda pula. Tetapi banyak yang
menyakini diantara keberagaman tentu ada kesamaan. Sekurang-kurangnya,
seseorang dianggap profesional bila memiliki keahlian, komitmen, dan skill relevan (Mutrofin, 2007). Sepuluh
kompetensi itulah yang antara lain menjadi dasar perumusan empat komtensi guru
sebagaimana dikemukakan di muka.
Jauh sebelum UU-RI No.
2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) diberlakukan,
pemerintah melakukan kebijakan mendasar dengan menghapuskan SPG (Sekolah
Pendidikan Guru) yang sebelumnya diberi kewenangan untuk mencetak tenaga guru
Pendidikan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Sebagai penggantinya dibukalah
program pendidikan guru sekolah dasar dan taman kanak-kanak D-II dan
kesetaraannya. Pada saat yang sama, pemerintah juga “menghapus” Fakultas
Keguruan (FKg) di Universitas dan meleburnya menjadi FKIP (Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan) yang diberi kewenangan untuk mencetak guru pendidikan
dasaar hingga pendidikan menengah bersama IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan).
Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (keguruan dan ilmu pendidikan) atau LPTK, menurut PP No.
38/1992 tentang Tenaga Kependidikan, ditunjuk khusus untuk menghasilkan tenaga
kependidikan (tenaga pendidik dan bukan tenaga pendidik). Terkait lulusan LPTK,
persoalan elementer yang dihadapi jenjang pendidikan dasar ialah terjadinya
disparitas (ketimpangan), baik mutu maupun jumlah. Di jenjang pendidikan
menengah dan tinggi, terjadi kekurangsesuaian (mismatch) dan irrelevansi. Sementara itu secara makro ditengarai
terjadi dua fenomena, yakni persediaan tenaga kependidikan berlebih (over supply) dan rendahnya mutu calon
mahasiswa LPTK.
Menghadapi berbagai
persoalan mendasar itu, dilakukan langka-langkah antara lain: 1) sejumlah
program studi dicciutkan, digabung dan ditutup; 2) sejak tahun 1992
diberlakukan kurikulum fleksibel dengan memberikan kewenangan yang lebih luwes
kepada lulusan LPTK; 3) sejumlah IKIP swasta beralih fungsi menjadi
universitas; dan 4) menyalurkan lulusan LPTK ke instansi pemerintah
nonpendidikan berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dengan tujuan menjaga keseimbangan antara jumlah lulusan LPTK dengan
kebutuhan nyata tenaga kependidikan di lapangan. Pemerintah juga melakukan
eksperimentasi dengan membuka program D-III kependidikan di sejumlah
universitas non-LPTK, namun karena hasil riset menunjukkan ketidakefektifan
program tersebut dalam mencetak guru sekolah menengah yang berkualitas, maka
program tersebut dihentikan (Mutrofin, 2007).
Sebelum Undang-undang
(UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas diberlakukan, pemerintah melakukan kebijakan
yang dianggap “strategi” dengan mengalihfungsikan (turning up) IKIP sebagai LPTK menjadi universitas dengan tetap
mempertahankan FKIP di universitas sebagai LPTK. Dimulai dari enam dari 10 IKIP
menjadi universitas berdasarkan Keppres No. 93/1999 tertanggal 4 Agustus 1999,
berangsur-angsur IKIP menjadi universitas dengan mengambil nama universitas
dari kota tempat IKIP berada, kecuali IKIP Bandung yang beralih fungsi menjadi
Universitas Pendidikan Indonesia.
Seiring dengan
pemberlakuan Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No. 14/2005
tentang Guru dan Dosen, tidak ada keharusan bahwa calon guru harus memiliki
kualifikasi akademik melulu dari LPTK, melainkan juga berdasarkan kualifikasi
akademik non-LPTK sejauh memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Artinya, pendidikan untuk menjadi guru telah
ditentukan melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang diprakarsai oleh
pemerintah dengan menunjuk institusi pendidikan tinggi yang diberi tugas untuk
itu.
Menurut UU No. 20/2003
tentang Sisdiknas, pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program
sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiki pekerjaan dengan
persyaratan keahlian khusus. Dengan demikian PPG adalah program pendidikan yang
diselenggarakan untuk lulusan S1 kependidikan dan S1/D-IV nonkependidikan yang
memiliki bakat dan minat menjadi menjadi guru agar mereka dapat menjadi guru
yang profesional serta memiliki berbagai kompetensi secara utuh sesuai dengan
standar nasional pendidikan dan dapat memperoleh sertifikat pendidik (sesuai UU
No. 14/2005) pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah.
Bagaimana dengan guru
dalam jabatan (sudah menjadi guru) namun belum memenuhi syarat kualifikasi
akademik sebagai guru? Kualifikasi akademik guru sebagaimana dimaksud bagi guru
dalam jabatan yang belum memenuhinya, dapat dipenuhi melalui pendidikan, atau
pengakuan hasil belajar mandiri yang diukur melalui uji kesetaraan yang
dilaksanakan melalui ujian komprehensif oleh perguruan tinggi yang
terakreditasi. Pendidikan sebagaimana dimaksud meliputi pelatihan guru dengan
memperhitungkan ekuivalensi satuan kredit semesternya; prestasi akademik yang
diakui dan diperhitungkan ekuivalensi satuan kredit semesternya; dan/atau
pengalaman mengajar dengan masa bakti dan presstasi tertentu. Guru dalam
jabatan yang mengikuti pendidikan dan uji kesetaraan, baik yang dibiayai
pemerintah, pemerintah daerah, maupun biaya sendiri, dilaksanakan dengan tetap
melaksanakan tugasnya sebagai guru.
Program pendidikan
profesi sebagaimana dimaksud memiliki beban belajar yang diatur berdasarkan
persyaratan latar belakang bidang keilmuan dan satuan pendidikan tempat
penugasan dengan ketentuan sebagaimana berikut ini.
a. Beban
belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) atau
Raudhatul Athfal (RA) atau Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) atau bentuk lain
yang sederajat yang berlatar belakang S-1 atau D-IV kependidikan untuk TK atau
RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai
dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
b. Beban
belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) atau bentuk lain
yang sederajat yang berlatar belakang s-1 atau D-IV kependidikan untuk SD atau
MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai
dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
c. Beban
belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan TK atau RA atau TKLB atau
bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang S-1 atau D-IV kependidikan
selain untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36
(tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
d. Beban
belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan SD atau MI atau SDLB atau
bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang S-1 atau D-IV kependidikan
selain untuk SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36
(tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
e. Beban
belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan TK atau RA atau TKLB atau
bentuk lain yang sederajat dan pada satuan pendidikan SD atau MI atau SDLB atau
bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang sarjana psikologi adalah 36
(tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
f. Beban
belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama
(SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa
(SMPLB) atau bentuk lain yang sederajat dan satuan pendidikan Sekolah Menengah
Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA) atau Sekolah Menengah Atas Luar Biasa
(SMALB) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK) atau bentuk lain yang sederajat, baik yang berlatar belakang S-1 atau
D-IV nonkependidikan adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh)
satuan kredit semester.
Beban belajar diatur
dalam kerangka dasar dan struktur kurikulum oleh perguruan tinggi penyelenggara
pendidikan profesi yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Muatan
belajar pendidikan profesi meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Bobot muatan
belajar disesuaikan dengan latar belakang pendidikan sebagai berikut:
a. Untuk
lulusan program strata satu (S-1) atau D-IV kependidikan dititikberatkan pada
penguatan kompetensi profesional; dan
b. Untuk
lulusan program S-1 atau D-IV nonkependidikan dititikberatkan pada pengembangan
kompetensi pedagogik.
2.
Pembinaan dan Pengembangan
Pembinaan dan
pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.
Pembinaan dan pengembangan profesi guru meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Pembinaan dan pengembangan profesi guru dilakukan melalui jabatan fungsional.
Pembinaan dan pengembangan karier guru meliputi penugasan, kenaikan pangkat,
dan promosi. Pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah pengembangan
kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bertahap,
berkelanjutan dan dapat meningkatkan profesionalitasnya.
3.
Penilaian Kinerja
Sebagai public servant, guru tidak dibiarkan
melaksanakan profesinya sekehendak hati. Setiap pekerja profesional, termasuk
guru memerlukan penilaian kerja. Penilaian kinerja guru adalah penilaian dari
tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karier kepangkatan
dan jabatannya. Guru dalam lingkungan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah, pemerintah provinsi, maupun oleh pemerintah daerah dan swasta
memiliki kewajiban yang sama untuk tunduk kepada atyran main yang diberlakukan
untuk penilaian kinerja dimaksud. Penilaian kinerja untuk guru mengacu kepada
ketentuan tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
E.
ORGANISASI PROFESI DAN KODE ETIK
Organisasi profesi guru
adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru
untuk mengembangkan profesionalitas guru. Sebagai negara yang menganut paham
demokrasi, negara menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, lebih-lebih
pada guru yang menyandang profesi profesional, kepadanya diberi kebebasan untuk
membentuk organisasi profesi yang bersifat indenpenden sebagai salah satu ciri
profesionalismenya. Organisasi profesi berfungsi untuk memajukan profesi,
meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi,
kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. Untuk itu guru wajib menjadi
anggota organisasi profesi. Pembentukan organisasi profesi dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dimana pemerintah dan atau pemerintah
daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan
dan pengembangan profesi guru. Sebagaimana diatur oleh undang-undang,
organisasi profesi guru mempunyai kewenangan: a. Menetapkan dan menegakkan kode
etik guru; b. Memberi bantuan hukum kepada guru; c. Memberikan perlindungan
profesi guru; d. Melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan e.
Memajukan pendidikan nasional.
Organisasi profesi guru
paling tua dan pertama di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) yang didirikan di Surakarta pada 25 November 1945,
sebagai wujud aspirasi guru indonesia dalam memperjuangkan cita-citanya.
Tanggal itu pula yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Guru
Indonesia. Setelah reformasi 1998, di luar PGRI muncul organisasi guru lainnya.
Di Indonesia saat ini
ada banyak sekali organisasi guru selain PGRI. Salah satu diantaranya yang
sangat populer adalah Ikatan Guru Indonesia (IGI). IGI adalah organisasi legal
yang diakui oleh pemerintah. Anggaran dasar Ikatan Guru Indonesia disahkan
sesuai dengan akta notaris Rr. Y. Tutiek Setia Murni, SH., MH. Nomor 02 Tanggal
28 Januari 2009 tentang perkumpulan Ikatan Guru indonesia (IGI). IGI secara
resmi sudah diakui dan disahkan pemerintah sebagai organisasi profesi guru
berdasarkan SK Depkumham Nomor AHU-125.AH.01.06. Tahun 2009, tertanggal 26
November 2009. Selain itu juga ada organisasi guru lainnya, yaitu Federasi Guru
Independen Indonesia (FGII), dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang
berdiri sekitar awal Januari 2011 yang dideklarasikan di kantor ICW Jakarta.
Jaminan konstitusi
tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul agaknya telah mendorong para guru
yang sebelumnya disebut sebagai kelompok mayoritas diam (silent majority) itu untuk memanfaatkan momentum demokratis secara
lebih optimal. Kemunculan organisasi profesi guru merupakan pertanda positif
yang diharapkan mampu mewadahi aspirasi, pengembangan profesionalitas, dan
upaya untuk memperjuangkan profesi. Namun pada sisi lain sangat mungkin terjadi
kemunculan banyak organisasi guru menjadikan perjuangan profesi guru tidak lagi
efektif, bahkan mencerai-beraikan guru dalam kompetisi yang tidak sehat. Untuk
menghindari itu, selain organisasi profesi guru, ada dua institusi lain yang
tidak boleh dilupakan, yaitu kode etik profesi guru dan dewan kehormatan guru.
Dua hal terakhir dalam banyak kajian merupakan bagian sensitif dan merupakan
elemen inti profesionalisme profesi guru.
Sebagaimana ditentukan
peraturan perundang-undangan, untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan
martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru
membentuk kode etik. Kode etik berisi norma dan etika yang mengikat perilaku
guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan. Menurut Sudarwan Danim (2010),
kode etik merupakan norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru
Indonesia sebagai pedoman sikap, moral dan perilaku dalam melaksanakan tugas
profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara. Pedoman sikap
dan perilaku dimaksud adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru
yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan
tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari
di dalam dan di luar sekolah.
Sebagai pedoman moral,
sikap dan perilaku Kode Etik ini bertujuan untuk menjunjung tinggi martabat
profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota profesi,
meningkatkan pengabdian para anggota profesi, meningkatkan mutu atau kualitas
profesi organisasi profesi. Dengan demikian, Kode Etik menempatkan guru sebagai
profesi terhormat, mulia, dan bermartabat yang dilindungi undang-undan. Tujuan
Kode Etik dimaksud berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma moral yang
melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru dalam hubungannya
dengan peserta didik, orang tua atau wali peserta didik, masyarakat, sekolah
dan rekan seprofesi, profesi, organisasi profesi, dan pemerintah sesuai dengan
nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika, dan kemanusiaan. Istilah norma di
sini bermakna sesuatu yang baik atau buruk dilihat dari persepsi komunitas
penyandang profesi atau masyarakat pada umumnya.
Guru dan organisasi
profesi guru bertanggung jawab atas pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia
(KEGI). KEGI ini merupakan hasil rumusan Konferensi Pusat PGRI. Di banyak jenis
profesi dan negara, Kode Etik profesi sejenis bersifat tunggal. Oleh karena itu,
meskipun di Indonesia banyak organisasi profesi guru, KEGI ini mestinya menjadi
Kode Etik Tunggal untuk siapa saja yang menyandang profesi guru. Kode Etik
harus diinternalisasi dan mengintegral pada perilaku guru. Di samping itu, guru
dan organisasi guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik dimaksud kepada
rekan sejawat, penyelenggara pendidikan, masyarakat, dan pemerintah. Bagi guru,
Kode Etik tidak boleh dilanggar, baik sengaja ataupun tidak. Setiap pelanggaran
adalah perilaku menyimpang/tidak melaksanakan KEGI dan ketentuan perundangan
yang berlaku yang berkaitan dengan profesi guru. Guru yang melanggar KEGI
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku pada organisasi
profesi atau menurut aturan negara. Jenis pelanggaran meliputi pelanggaran
ringan, sedang, dan berat.
Akan tetapi, guru tidak
secara serta-merta dapat dikenai sanksi karena tudingan melanggar Kode Etik
profesinya. Pemberian sanksi itu berdasarkan atas rekomendasi objektif.
Pemberian rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran terhadap
KEGI merupakan wewenang Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI). Sebagaimana
ditentukan peraturan perundang-undangan, DKGI dibentuk oleh organisasi profesi
guru. Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru diatur dalam
anggaran dasar organisasi profesi guru. Dewan kehormatan guru dibentuk untuk
mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian
sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru. Pemberian sanksi oleh DKGI harus
objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar
organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan. Organisasi profesi guru
wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru. Namun, istilah wajib ini
bersifat normatif. Sanksi dimaksud merupakan upaya pembinaan kepada guru yang
melakukan pelanggaran dan untuk menjaga harkat dan martabat profesi guru.
Selain itu, siapapun yang mengetahui telah terjadi pelanggaran KEGI wajib
melapor kepada DKGI, organisasi profesi guru, atau pejabat yang berwenang.
Tentu saja, setiap pelanggar dapat melakukan pembelaan diri dengan/atau tanpa
bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasehat hukum menurut jenis
pelanggaran yang dilakukan di hadapan DKGI.
E.
ISU
PRESENTASI DAN SEMINAR
1. Kesejahteraan
guru selalu menjadi bahan perbincangan tiada henti. Pertanyaan dasar yang perlu
dijawab ialah, benarkah kesejahteraan para guru belum memadai dibandingkan
dengan profesi lain? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu adanya paparan
tentang standar gaji, penghasilan dan penghargaan lain yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan dan dibandingkan dengan ketentuan upah minimum
regional dan provinsi dan tingkat kebutuhan hidup minimum (KHM).
2. Diperlukan
pengkajian lebih lanjut dampak jangka panjang ketika persyaratan untuk menjadi
guru demikian “cair” dalam arti dapat diduduki oleh siapapun yang tanpa
kecuali, apakah oleh lulusan sarjana (S1) dan D-IV kependidikan maupun
non-kependidikan.
3. Banyaknya
organisasi profesi guru merupakan pertanda baik kehidupan demokrasi di negeri
ini. Akan tetapi, ditilik dari sisi kepentingan profesionalisme profesi dan
kemampuan daya tawar (bargaining power)
dengan pemerintah, apakah hal itu tidak akan memperlemah?
BAB IV
DOSEN SEBAGAI PROFESI KEPENDIDIKAN
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa
diharapkan memiki kompetensi berikut ini:
1. Menginisiasi
profil dan identitas profesi dosen.
2. Menjelaskan
kedudukan dan tugas pokok profesi dosen.
3. Menguraikan
profesionalisme dan kompetensi yang dipersyaratkan profesi dosen.
4. Mendiskusikan
peran ganda dosen selain sebagai akademisi yang juga dituntut berperan sebagai
intelektual dan cendikiawan.
A.
PROFIL,
DAN IDENTITAS PROFESI
Sebetulnya, dosen sebagai profesi kependidikan
hampir identik dengan profesi guru sebagai profesi dibidang pengajaran (teaching profession). Di Amerika
Serikat, sebagaimana dirilis national
education association (NEA), dalam soetjipto dan raflis kosasi (1999),
profesi pengajaran adalah suatu jabatan dengan sejumlah karakteristik. Karakteristik
tersebut intinya menegaskan bahwa profesi dibidang pengajaran adalah suatu
jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual; menggeluti suatu batang tubuh
ilmuyang khusus; memerlukan persiapan profesional yang lama; memerlukan latian
dalam jabatan yang berkesinambungan; menjanjikan karir hidup dan kenanggotaan
yang permanen; menentukan baku mutu (standar) sendiri; lebih mementingkan
layanan atas keuntungan pribadi; dan jabatan yang mempunyai organisasi
profesional yang kuat dan terjalin erat.
Sejauh ini ada dua kelompok pandangan tentang
profesi pengajaran. Kelompok pertama yang dianut pendukungnya meyakini dan
percaya bahwa mengajar adalah suatu sains (science),
sementara kelompok kedua dan pendukungnya mengatakan bahwa mengajar adalah
suatu kiat (the art) atau profesi
semi profesional (stinnett dan huggett, 1963). Bahkan lebih ekstrem,
ornsteindan levine (1984), berpendapat bahwa belum ada kesepakatan tentang
bidang ilmu khusus yang melatari pendidikan (education) atau pengajaran (teaching).
Akan tetapi, sejauh menyangkut berbagai risalah hasil-hasil riset sebagaimana
termuat secara periodik dalam encyclopedia
of educational research, terdapat bukti-bukti kuat bahwa profesi pengajaran
telah intensif mengambangkan batang tubuh ilmu khusunya (dilihat pula Millman,
1987; Wittrock, 1986).
Berdasarkan telaah sebagaiman
dikemukakan di Bab I, II dan III, namp. Lebih lanjut dapat diamati, bahwaak
jelas bahwa profesi pengajaran melibatkan upaya-upaya yang sifatnya sangat
didominasi kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati, bahwa
kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota profesi ini adalah dasar bagi
persiapan semua kegiatan profesional lainnya (soetjipto dan Raflis Kosasi,
1999), Oleh sebab itu, menurut stinnet dan hugget 91963), mengajar seringkali
disebut sebagai “ibu dari segala profesi” (mother of profession), suatu profesi
Pling Tua sepanjang sejarah.
Pertanyaan dasarnya ialah, apakah
profesi guru dan dosen berbeda? Menurut Undang-Undang (UU) No. 20/2003 tentang
Sisdiknas, pasal-pasal yang mengatur tentang guru dan dosen berbeda. Akan
tetapi kedua profesi tersebut berbeda dalam satu paket undang-undang yang sama,
yakni UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Meskipun kemudian diatur melalui
peraturan pemerintah (PP) yang berbeda.
Perbedaan antara guru dan dosen dijelaskan dengan baik oleh sadarwan danim
(2010), berikut ini:
1. Guru
dan dosen secara konseptual merupakan dua jabatan/pekerjaan profesional yang
sama, namun secara oiperasional terdapat perbedaan peran yang signifikan antara
dosen yang bertugas diperguruan tinggi dan guru yang bertugas disekolah pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal. Perbedaan itu dalam hal pengaturan mengenai: (a) kedudukan
dan fungsi, (b) kualifikasi akademik dan kompetensi, (c) hak dan kewajiban, (d)
wajib kerja dan ikatan dinas, (e) pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan
pemberhentian, (f) pembinaan dan pengembangan, (g) penghargaan, (h)
perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan perlindungan ketenaga kerjaan, (i)
organisasi profesi, serta (j) sanksi.
2. Secara
yuridis, guru dan dosen merupakan pendidik profesional, tetapi tugas dan
tanggung jawabnya berbeda. Disamping tenaga pendidik, dosen juga berfungsi
sebagai peneliti yang memperdalam, memperluas, dan mengembangkan IPTEK dan
seni. Kompetensi yang dibutuhkasn bagi dosen bukan sekedar menguasai IPTEK dan
seni yang sudah mapan, melainkan juga menemukan IPTEK dan seni baru melalui
penelitian, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.
3. Secara
historis, Organisasi guru telah ada sejak berdirinya Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) tanggal 25 November 1945, sedangkan organisasi dosen yang ada
adalah menurut disiplin ilmu seperti Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia
(ISPI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Persatuan Sarjana Arsitek
Indonesia (PSAI), dan sebagainya.
4. Secara
sosiologis, guru tersebar diseluruh tanah air, mulai dari kota besar samapai ke
desa-desa terpencil atau “daerah-daerah khusus” (seperti daerah bencana,
trisolasi, perbatasan, dan rawan konflik); sedangkan dosen hanya bertugas di
daerah-daerah perkotaan. Hal ini berimplikasi pada tingkat kesulitan hidup,
pelaksanaan tugas, dan risiko kerja guru yang sangat bebeda dengan dosen.
Karena itu perlindungan dan kesejahteraan guru memerlukan pengaturan
tersendiri.
5. Guru
disiapkan diperguruan tinggi pada jenjang pendidikan sarjana. Kompetensi yang
dikembangkan adalah kemampuan menguasai substansi dan pembelajaran sesuai
kurikulum disekolah. Guru mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan potensi
peserta didik sejak pada usia dini sehingga menjadi insan dewasa yang
berbudaya. Dosen dipersiapkan diperguruan tinggi pada jenjang pendidikan
magister dan/atau doktor. Kompetensi yang dikembangkan ialah kemampuan
menguasai struktur dan metode keilmuan sampai pada tahap muktahir, melaksanakan
penelitian dasar dan terapan, serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat
dalam konteks bidang keilmuan. Dosen mempunyai tanggung jawab untuk
mengembangkan potensi peserta didik usia dewasa melalui program akademik, vokasi,
atau profesi, serta terikat oleh etika covitas akademika.
6. Pemberdayaan
guru disekolah terikat oleh konsep dan prinsip manajemen berbasis sekolah,
sedangkan pemberdayaan dosen lebih terikat pada konsep dan prinsip otonomi
keilmuan. Pemberdayaan guru secara individual antara lain diarahkan untuk
meningkatkan kualitas pembelajarannya dan melakukan penelitian untuk menunjang
proses pembelajaran; sedangkan pemberdayaan dosen antara lain diarahkan
melaksanakan pembelajaran orang dewasa, melakukan penelitian keilmuan murni
atau terapan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan disiplin
ilmu dan/atau pengembangan masyarakat.
7. Guru
dituntutbersikap profesional dalam penguasaan dua kompetensi secara berimbang,
yakni kompetensi sebagai pendidik (educator)
dan kompetensi sebagai pengajar (teacher),
sedangkan dosen lebih dititik beratkan pada sikap dan kemampuan profesional
sebagai ilmu-pengajar (lecturer).
8. Perguruan
tinggi sebagai lembaga pendidikan bersifat otonom berbasis satuan pendidikan
tinggi dalam mengelola dosen. Hal ini berbeda dengan sekolah yang guru-gurunya
dikelola secara terpadu berbasis wilayah untuk semua jenis pada jenjang
pendidikan formal.
9. Pembinaan
dan pengambangan dosen diperguruan tinggi sudah tertata lebih baik dan secara
hukum sudah lebih terlindungi, serta secara profesional, sosial, dan finansial
sudah memperoleh penghargaan yang lebih memadai daripada guru.
10. Pada
konteks international, kedudukan guru dan status guru secara eksplisit telah
dituangkan dalam Rekomendasi ILO/UNESCO : The
Status Of Teachers : An Instrumen For Its Improvement; The International
Recommendation Of 1966, 5 Oktober 1966, yang ditandatangai di paris oleh
utusan dari 165 negara , termasuk Indonesia. Rekomendasi tersebut manyatakan
bahwa konsep dan sebutan “guru”digunakan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, termasuk pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal.
Rekomendasi tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap hak dan
kewajiban guru dalam menjalankan profesinya. Hal ini berbeda dengan profesi
dosen.
Menurut undang-undang
No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen; dan PP
No.37 /2009 tentang dosen, dosen didefinisikan sebagai pendidik profesional dan
ilmuan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan
ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Profesi dosen dikukuhkan sebagai jabatan
fungsional berdasarkan keputusan presiden No. 87/1999, tentang Rumpun Jabatan
Fungsional PNS, dan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan
Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (MENKO WASBANGPAN) No.
38/KEP/MK.WASPAN/8/1999 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya,
yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Men-PAN No. PER/60/M.PAN/6/2005.
Status dosen terdiri
atas dosen tetap, yaitu dosen yang bekerja penuh waktu yang bersetatus sebagai
tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu, dan dosen tidak
tetap. Jenjang jabatan akademik dosen tetap terdiri atas Asisten Ahli (Penata
Muda golongan ruang III/a, Penata Muda Tingkat I Golongan III/b), Lektor
(Penata Golongan Ruang III/c, Penata Tingkat I golongan ruang III/d); Lektor
Kepala (Pembina Golongan ruang IV/a, Pembina tingkat I golongan ruang IV/b,
Pembina utama muda golongan ruang IV/c); dan Profesor/Guru Besar (Pembina Utama
Madya golongan ruang IV/d, Pembina Utama golongan ruang IV/e). Persyaratan
untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik
doktor. Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak tetap
ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggisesuai dengan peraturan
perundang-undangan.