Senin, 27 Mei 2013


BAB I
KONSEP DASAR PROFESI

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi:
1.   Mengungkapkan kembali pendekatan kajian akademik profesi secara umum.
2.   Mendefinisikan pengertian profesi.
3.   Menjelaskan ciri khusus (karakteristik) profesi.
4.   Membedakan antara pekerjaan yang tergolong profesi profesional dan yang bukan profesi yang profesional berdasarkan syarat-syarat keprofesian menurut kajian akademik.

A.      PERIHAL PROFESI DAN PENGERTIANNYA
Menurut Waddington (1996), istilah profesi pada awalnya berarti sejumlah pekerjaan terbatas yaitu pekerjaan-pekerjaan yang hanya ada dalam era pra-industri di eropa, yang membuat orang-orang berpenghasilan mampu hidup tanpa tergantung pada perdagangan atau pekerjaan manual. Hukum, kedokteran, dan keagamaan merupakan tiga profesi klasik, tetapi pejabat angkatan darat dan angkatan laut kemudian juga dimasukan ke dalam profesi. Proses indrustrialisasi dikaitkan dengan perubahan besar dalam struktur profesi lama ini, dan dengan pertumbuhan lapangan kerja baru yang pesat, banyak dari pekerjaan ini kemudian mendapatkan status profesional. Perubahan-perubahan dalam struktur pekerjaan tersebut direfleksikan dalam literatur sosiologi, misalnya studi klasik oleh Carr-Saunderrs dan Wilson (1993), dalam usaha untuk mendefinisikan ciri atau karakteristik dari profesi modern. Pendekatan ini kadang-kadang disebut dengan pendekatan “ciri” atau “daftar periksa” – bagaimanapun juga belum mendapatkan persetujuan luas, seperti misalnya, apa definisi profesi yang bermanfaat dan memadai.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa ada dua istilah yang jika tidak dijelaskan akan membingungkan, karena dewasa ini kedua istilah itu sering kali dipertukarkan atau disebut secara bergantian, yaitu  istilah pekerjaan dan istilah profesi. Sama atau berbedakah pengertian kedua istilah tersebut? Wirawan (2009), berpendapat, pekerjaan adalah aktivitas menyelesaikan sesuatu atau membuat sesuatu yang hanya memerlukan tenaga dan keterampilan tertentu seperti yang dilakukan oleh pekerja kasar atau blue collar worker. Dicontohkan termasuk dalam kategori pekerjaan misalnya sopir bus, pembantu rumah tangga, tukanag cukur, pengantar surat pos, dan tukang kayu. Sementara yang dimaksud profesi menurut Wirawan (2009), adalah suatu pekerjaan yang untuk menyelesaikannya memerlukan penguasaan dan penerapan teori ilmu pengetahuan yang dipelajari dari lembaga pendidikan tinggi seperti yang dilakukan oleh para profesional atau white collar worker. Contoh profesi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh manajer, dokter, guru dan dosen, hakim, jaksa, advokad atau pengacara, perawat, akuntan, dan lain-lain.
Hal menarik sebetulnya jauh-jauh hari pernah dikemukakan Millerson (1964), setelah meneliti literatur dengan cermat, mendaftar tidak kurang dari 23 unsur, yang dipisahkan dari karya 21 penulis, yang telah memasukkan berbagai definisi profesi. Hasilnya adalah, tidak ada item tunggal yang dapat diterima oleh penulis sebagai karakteristik profesiyang dibutuhkan, dan tidak ada dua penulis yang sepakat mengenai kombinasi elemen mana yang dapat dimbil sebagai definisi. Akan tetapi ada enam karakteristik yang disebut-sebut yaitu: memiliki keahlian berdasarkan pengetahuan teoretis, adanya pelatihan dan pendidikan, uji kemampuan anggota, organisasi, terikat dengan aturan pelaksanaan, dan adanya pemberian jasa altruistik.
Secara historis, sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an banyak ahli sosiologi menggunakan pendekatan “daftar periksa” (check-list) untuk mempelajari pekerjaan, seperti kerja sosial, pengajar, perawat dan pustakawan, untuk melihat apakah pekerjaan itu bisa disebut sebagai profesi atau tidak. Namun demikian, sejak awal 1970-an pendekatan deskriptif ini semakin ditinggalkan karena banyaknya kritik tajam. Freidson (1970), dan Johnson (1972), misalnya, mengkritik bahwa ciri-ciri yang dipakai untuk mendefinisikan profesi seringkali, secara analitik dan empirik, bersifat mendua, sedangkan daftar dari elemen yang berfungsi mendefinisikan dibentuk secara sewenang-wenang, dan juga tidak banyak usaha untuk mengartikulasikan hubungan antara elemen-elemen secara teoretis. Akhirnya para kritikus merasa bahwa pendekatan ini cenderung mereflesikan gambaran ideologis yang oleh para profesional berusaha disampaikan dari karya-karya mereka sendiri.
Sejak tahun 1970-an literatur tentang profesi menjadi lebuh kritis dan cenderung terfokus pada analisis kekuasaan profesional, dan posisi profesi di dalam pasar tenaga kerja. Berkaitan dengan posisi profesi tersebut, Berlant (1975), misalnya, melihat profesionalisasi sebagai proses monopolisasi; sedangkan Larson (1977), melihatnya sebagai sesuatu proses mobilitas pekerjaan berdasarkan pada kontrol terhadap pasar tertentu. Namun demikian pengaruh yang dominan sepanjang 1970-an dan 1980-an barangkali dari Freidson dan Johnson, karena keduanya memokuskan diri pada kekuasaan profesional.
Freidson (1986), berpendapat bahwa otonomi profesional, yakni kekuasaan profesi untuk mendefinisikan dan mengontrol pekerjaan merekalah yang membedakan karakteristik dari profesi. Dalam perspektif ini pengetahuan yang khusus atau perilaku altruistik tidak dipandang sebagai karakteristik esensial dari profesi. Namun, klaim terhadap atribut-atribut semacam itu, terlepas dari soal valid atau tidak, barangkali penting dalam proses
Profesionalisasi sepanjang atribut-atribut tersebut merupakan retorika dipandang dari segi kelompok pekerja yang berusaha untuk mendapatkan hak-hak istimewa seperti sistem lisensi, pengaturan sendiri, dan situasi pasar yang terjaga. Oleh karena itu proses profesionalisasi dilihat bersifat politis dalam karakternya, suatu proses “dimana kekuasaan retorika persuasif lebih diutamakan ketimbang karakter objektif dari pengetahuan, pelatihan dan pekerjaan.”
Karya Johnson (1972), berpusat pada analisis hubungan praktisi-klien. Dia mencatat bahwa pekerjaan yang secara konvesional disebut sebagai “profesi” telah, diberbagai waktu dan tempat, menjadi tunduk pada kekuatan klien (patronase), atau hubungan praktisi-klien mungkin diperantai oleh kelompok ketiga, seperti gereja atau negara (kontrol penengah). Istilah profesionalisme digunakan untuk bentuk khusus dari kontrol pekerjaan, yang melibatkan pengaturan sendiri tingkat tinggi dan kemandirian dari kontrol eksternal yang dalam bentuknya yang paling berkembang, merupakan produk dari kondisi sosial tertentu pada abad 19 di Inggris dan Amerika.
Abbott (1998; 1991), menyatakan bahwa profesi adalah kelompok pekerjaan eksklusif yang melakukan yuridiksi pada bidang pekerjaan tertentu. Yuridiksi ini dilaksanakan berdasarkan kontrol yang kurang lebih abstrak, esoterik dan pengetahuan intelektual; kelompok yang kurang pengetahuannya (misalnya polisi dibandingkan dengan pengacara) umumnya gagal dalam mempertahakan profesionalismenya. Apa yang berbeda dari pendekatan Abbott bukanlah definisi profesinya tetapi penegasannya bahwa profesionalisasi tidak dapat dipahami hanya sebagai perkembangan linier sederhana dari pekerjaan individu yang dilihat secara tersendiri, karena perkembangan berbagai profesi harus dipandang sebagai saling ketergantungan.
Ada sejumlah, dan kadang-kadang bertentangan, definisi dari profesi. Abbott (1991), telah mencatat kebingungan ini dan menyarankan bahwa “memulai dengan definisi bukan berarti memulai semuanya.” Barangkali yang lebih membantu adalah Freidson (1986), yang menunjukkan perbedaan penting antara profesi di Amerika Serikat dan di Inggris dan status jabatan yang tinggi di daratan Eropa, dan berpendapat bahwa profesionalisme adalah “penyakit Anglo-Amerika.” Ia berpendapat bahwa masalah tidak diciptakan: “dengan memasukan ciri pembawaan dan atribut dalam definisi. Masalah, terletak lebih dalam ketimbang hal tersebut. Masalah tercipta karena ada usaha untuk memperlakukan pekerjaan (profession) seolah-olah sebagai konsep generik ketimbang konsep historis yang berubah dengan akar yang bersifat unik di dalam negara industri yang sangat dipengaruhi oleh institusi Anglo-Amerika.”
Secara harfiah, kata profesi merupakan terjemahan istilah bahasa Inggris profession, yang artinya adalah pekerjaan. Berdasarkan kajian akademik, selain pengertian sebagaimana dikemukakan Waddington (1996), Wirawan (2009), dan Abbott (1988, 1991), di atas, ada pengertian lain profesi yang sejalan. Arifin (1995), misalnya, mengemukakan bahwa profession mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latian khusus. Menurut Kunandar (2007), profesi adalah suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahhuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu. Sedangkan menurut Martinis Yamin (2007), profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas. Sementara Jasin Muhammad dalam Muhamad Yunus Namsa (2006), mengemukakan bahwa profesi adalah suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli. Pengertian profesi ini mengandung makna bahwa di dalam suatu pekerjaan profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang mengacu pada pelayanan keahlian.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan kompetensi intelektual, perilaku ilmiah berbasis ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu, memiliki etika tertentu, memiliki kesesuaian dengan kebutuhan dan permintaan pasar tenaga kerja, dan diperoleh seseorang melalui proses pendidikan dan pelatihan akademik di perguruan tinggi.

B.      KARAKTERISTIK PROFESI
Sudah menjadi pemahaman kolektif bahwa profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan, namun tidak semua pekerjaan atau jabatan dapat disebut sebagai profesi. Menurut Brian Rowan (1994), ada suatu metode untuk menjadikan jabatan atau peekerjaan sebagai atau profesi yang disebut profesiisme. Profesiisme adalah suatu upaya untuk menerapkan faham profesi terhadap jabatan atau pekerjaan tertentu dan membandingkannya dengan jabatan lain sehingga menjadi jabatan atau pekerjaan tersebut sebagai profesi yang profesional. Salah satu teknik yang digunakan ialah membandingkan atau menganilisis karakteristik suatu pekerjaan yang sehingga pekerjaan tersebut dapat disebut sebagai profesi.
Perihal karakteristik profesi, Ornstein dan Levine (1984), mengemukakan bahwa suatu pekejaan atau jabatan disebut profesi apabila memenuhi sejumlah karakteristik berikut ini.
1.       Memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat, dalam arti pelayanan jasa tersebut merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat, tidak berganti-ganti pekerjaan.
2.       Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkuan khalayak ramai, artinya, tidak setiap orang dapat melakukannya.
3.       Pekerjaan yang dilakukan berangkat dari teori ke praktik dan hasil-hasil penelitian tentang pekerjaan itu sehingga sangat dimungkinkan adanya teori baru dan praktik baru pekerjaan.
4.       Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang relatif lama (panjang).
5.       Terkendali berdasarkan “lisensi” baku dan atau mempunyai persyaratan masuk. Artinya, untuk mendapatkan pekerjaan tau jabatan tersebut diperlukan izin khusus atau sertifikasi serta persyaratan khusus yang dikeluarkan oleh organisasi atau birokrasi pemerintahan.
6.       Memiliki otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu yang tidak teratur oleh pihak luar.
7.       Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan kinerja yang ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan. Artinya, pertanggungjawaban bersifat personal terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindah ke pihak atasan atau instansi, baik horisontal maupun vertikal.
8.       Mempunyai sekumpulan kinerja terstandar (baku mutu).
9.       Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien; dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.
10.    Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya. Sebut misalnya, dokter, memakai tenaga administrasi (ahli rekam medis) untuk mendata klien dan mencatat segala segala kemajuan kesehatan klien berikut obat-obat apa saja yang telah diberikan sepanjang layanan medik.
11.    Relatif bebas dari supervisi dalam jabatan, artinya tidak ada supervisi dari pihak luar terhadap pekerjaan yang dilakukan.
12.    Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri. Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok “elit” untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya, termasuk di dalamnya kewenangan organisasi profesi untuk menindak anggotanya yang “malpraktik” dengan berpegangan pada kode etik profesi yang telah disepakati bersama.
13.    Mempunyai kode etik (code of conduct) untuk menjelaskan hal-hal meragukan atau menyangsikan berhubungan dengan layanan pekerjaan yang diberikan.
14.    Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari publik dan kepercayaan diri setiap anggotanya.
15.    Secara umum dipandang sebagai suatu status sosial dan status ekonomi yang tinggi apabila dibandingkan dengan pekerjaan atau jabatan lainnya.
Sejalan dengan karakteristik tersebut, Achmad Sanusi, dkk. (1991), mengemukakan bahwa karakteristik suatu profesi adalah berikut ini.
1.       Suatu jabatan yaang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan (crusial).
2.       Jabatan yang menuntut keterampilan atau keahlian tertentu.
3.       Keterampilan atau keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4.       Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu (body of knowledge) yang jelas, sistematik, eksplisit, dan bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum (publik).
5.       Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat pergguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
6.       Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.
7.       Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
8.       Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan pendapat ahli (judgement) terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.
9.       Dalam praktik memberikan pelayanan kepada masyarakat, anggota profesi bersifat otonom dan bebas dari campur tangan pihak luar.
10.    Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan oleh karenanya – secara umum, dan semestinya – memperoleh imbalan yang tinggi pula.
Berdasarkan karakteristik tersebut sekarang menjadi jelas bahwa tidak setiap pekerjaan atau jabatan bisa disebut sebagai profesi. Sudah dapat diidentifikasi apakah tukang becak, penderes karet, petani, masinis, pilot, dokter, guru, dosen, wartawan, reporter, penyiar radio, nelayan, penyanyi, artis, aktor, operator kompurter, pencatat kegunungapian, perawat, bidan, dan lain-lain adalah pekerjaan ataukah profesi.
C.      PROFESIONALISME PROFESI
Pada akhir abad 20 dan dasa warsa pertama abad 21, cukup banyak kosa kata yang semula tidak populer menjadi sangat populer, salah satu diantaranya ialah kosa kata “profesionalisme.” Kosa kata profesionalisme, setelah perang dunia II, beriringan dengan kata “evaluasi kinerja” berkembang luas (Poels, 2003). Ketika pengalaman dalam kedua bidang tersebut berkembang, kritik atas metode-metode yang digunakan juga meningkat, sebab dasar ilmiahnya hingga saat ini belum ada. Kritik gencar datang dari kalangan akademis, terutama psikolog. Kata profesionalisme lebih menemukan relevansinya di atas semua perdebatan tentangnya, terutama dalam praktik dan disiplin manajemen. Dibandingkan dengan disiplin lain, disiplin dan praktik manajemen telah mengembangkan batasan profesionalisme jauh lebih progresif dengan cara-cara yang sangat fleksibel, yakni dengan melakukan analisis suatu pekerjaan, memberikan suatu skor atau poin, dan memeringkatkannya, dan menentukan basis remunerasinya (penggajian).
Pertanyaannya ialah, apakah semua profesi memiliki domain profesionalisme? Secara akademik yang disebbut profesionalisme identik dengan profesiisme menurut Rowan (1994); profesionalisasi menurut Abbott (1998; 1991); bentuk khusus dari kontrol pekerjaan menurut Johnson (1972); sebagai proses monopolisasi menurut Berlant (1975); dan suatu proses mobilitas pekerjaan berdasarkan pada kontrol terhadap pasar tertentu menurut Larson (1977).
Akan tetapi ada baiknya pengertian profesionalisme secara umum dan hubungannya dengan profesi diketengahkan agar diperoleh pemahaman yang komprehensif. Profesioanlisme ialah sifat-sifat, yakni kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain, sebagaimana yang sewajarnya terdapat pada atau dilakukan oleh seseorang profesional. Profesionalisme berhubungan dengan dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalakannya (KBBI, 1994).
Profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualitas daari seseorang yang profesional (Longman, 1987). Dalam kamus kata-kata serapan asing dalam bahasa indonesia, karya Badudu (2003), profesionalisme didefinisikan sebagai mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri seorang yang profesional. Sementara kata profesional sendiri berarti, bersifat profesi, memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan, serta beroleh bayaran karena keahliannya itu.
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan, serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan (Wignjodoebroto, 1999).
Profesionalisme adalah sebutan yang mengacu pada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Seseorang yang memiliki jiwa profesionalisme senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan kerja-kerja yang profesional. Kualitas profesionalisme didorong oleh ciri-ciri sebagai berikut:
1.       Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati piawai ideal. Seseorang yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan piawai yang telah ditetapkan. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada seseorang yang dipandang memiliki kepiawaian tersebut. Maksud “piawai ideal” ialah suatu perangkat perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan.
2.       Meningkatkan dan memelihara citra profesi.
Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai cara misalnya penampilan, cara percakapan, penggunaan bahasa, sikap dan bahasa tubuh, perilaku sehari-hari, dan bagaimana memelihara hubungan dengan individu lainnya.
3.       Keinginan untuk senantiasa mengejar peluang dan kesempatan pengembangan karier yang dapat meningkatkan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya.
4.       Mengejar kualitas dan cita-cita keprofesian.
Profesionalisme ditandai dengan kualitas dan rasa bangga akan profesi yang disandangnya. Dalam hal ini dihaarapkan agar seseorang itu memiliki rasa bangga dan percaya diri akan profesinya.
Profesonalisme biasanya juga dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib dimiliki oleh setiap eksekutif yang baik dengan ciri-ciri berikut ini.
1.       Mempunyai keterampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidang tadi.
2.       Mempunyai ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganilisis suatu masalah dan peka dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik.
3.       Mempunyai sikap berorientasi ke depan sehingga memiliki kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya.
4.       Mempunyai sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan dirinya.
Adapun perilaku yang dipandang mencerminkan profesionalisme, antara lain berikut ini.
1.       Bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.
2.       Memberi arahan tugas dengan jelas.
3.       Membina bawahan dengan memberikan kesempatan untuk maju dan berkembang serta mengalokasikan sumber daya manusia dalam mengantisipasi hal yang terjadi di kemudian hari.
4.       Mampu menyelesaikan tugas tepat waktu dan tuntas.
5.       Memberi laporan secara akurat dan objektif.
6.       Terbuka terhadap saran dan kritik.
7.       Selalu berusaha meningkatkan kemampuan dan keterampilan.
8.       Proaktif mengikuti perkembangan bidang yang berhubungan dengan pekerjaannya.
9.       Proaktif mengajukan usulan yang kreatif dan konstruktif.
10.    Bertanggung jawab terhadap aset perusahaan dan menggunakannya secara profesional.
11.    Mengontrol dan mengawasi mitra kerja, sesuai dengan perjanjian kerja sama yang disepakati.
12.    Selalu mengevaluasi semua tugas yang dilaksanakan untuk pengembangan selanjutnya.

Berdasarkan uraian panjang tersebut dapatlah ditarik benang merah pola hubungan antara profesionalisme dan profesi. Profesionalisme itu paham profesi. Apabila suatu profesi ingin dipandang sebagai profesi yang profesional, maka jelas profesi tersebut harus melalui prinsip well educated, well trained, dan well paid. Pada profesi yang profesional melekat dua hal yang harus ada (qondisio sine quanon), yakni kompetensi dan kinerja. Kompetensi adalah atribut-atribut yang dimiliki oleh suatu pekerjaan dan membedakannya dengan pekerjaan lainnya (Armstrong, 2003), sedangkan kinerja merupakan akronim dari kinetik energi kerja atau yang dalam bahasa Inggris disebut perfomance (Wirawan, 2009). Kinerja mempunyai hubungan kausal dengan kompetensi. Kinerja merupakan fungsi dari kompetensi, perilaku dan sikap, dan tindakan kerja. Kompetensi melukiskan karakteristik pengetahuan, keterampilan, perilaku, dan pengalaman untuk melakukan suatu pekerjaan atau peran tertentu secara efektif. Kompetensi secara objektif dapat diukur dan dikembangkan melalui supervisi, manajemen kinerja, dan program pengembangan sumber daya manusia. Pengetahuan mengidikasikan apa yang terdapat dalam kepala (otak) seseorang, mengetahui kesadaran atau pemahaman mengenai sesuatu, terutama pekerjaan. Keterampilan mereflesikan kemampuan seseorang yang dapat diukur yang telah dikembangkan melalui praktik, pelatihan, dan atau pengalaman.

D.      ISU PRESENTASI DAN SEMINAR
1.       Di Amerika Serikat, ada dokumen yang disebut Dictionary of Occupation Title (DOT) yang dipublikasikan oleh Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat. Dokumen tersebut memuat ribuan jenis pekerjaan atau jabatan, baik yang memerlukan keahlian maupun yang tidak memerlukan keahlian khusus. Di Indonesia juga banyak pekerjaan atau jabatan yang tersedia sesuai  dengan pasar tenaga kerja. Cobalah anda daftar pekerjaan apa saja yang anda ketahui, pilihlah pekerjaan atau jabatan apa yang dapat dikategorikan profesi, profesi yang profesional, atau hanya pekerjaan saja. Gunakan karakteristik profesi sebagaimana dikemukakan para ahli untuk menjustifikasi. Presentasikan dan seminarkan isu tersebut!
2.       Perhatikan, di Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau dokumen lain seperti Kartu Keluarga (KK), SIM, dan sebagainya, selain terdapat kolom identitas diri, juga ada kolom “pekerjaan.” Sudah tepatkah penempatan kolom “pekerjaan” tersebut? Jadikan isu ini sebagai perdebatan yang argumentatif dan konstruktif!















BAB II
PERIHAL
PROFESI KEPENDIDIKAN

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi:
1.       Mengartikulasikan intisari profesi kependidikan.
2.       Membedakan berbagai ragam profesi kependidikan.
3.       Beragumentasi bahwa profesi kependidikan adalah profesi yang profesional.

A.      TINJAUAN UMUM
Diskusi tentang profesi secara umum sebagaimana dikemukakan di bab I mendorong telaah lebih lanjut tentang profesi kependidikan. Pertanyaan dasarnya ialah, apakah ada identitas profesi dalam bidang pendidikan? Jikalau ada, apakah profesi tersebut termasuk kategori profesi yang profesional?
Dimulai dari pemahaman istilah “kependidikan” terlebih dulu, istilah’kependidikan’ di Indonesia sebetulnya mengemuka sejak awal tahun 1980-an. Istilah yang populer sebelum tahu-tahun tersebut adalah pendidikan, dan atau dunia pendidikan. Istilah ‘kependidikan’ populer dengan bersamaan dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), terutama setelah ada pembaruan pendidikan guru dimana lembaga penghasil tenaga guru dan tenaga di bidang pendidikan lain muncul dalam dokumen yang disebut sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Di bawah kepemimpinan Tjokorda Raka Joni dari IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang), istilah kependidikan sangat populer di kalangan akademis, baik di LPTK (IKIP dan FKIP/FKg/FIP-Universitas), maupun non-LPTK.
Ditilik dari sisi kebahasaan, orang awam bisa memastikan bahwa istilah kependidikan itu adalah “perihal dunia pendidikan” sebagai kata bentukan dari asal kata “pendidik” berawalan “ke” dan berakhiran “kan.” Akan tetapi, ditilik dari konteks dokumen LPTK yang terdiri atas sekurangnya 5 (lima) buku yang dimaksudkan sebagai acuan dan pedoman dalam mengembangkan pendidikan guru di Indonesia, sebetulnya arti “kependidikan” adalah akronim dari “keguruan dan ilmu pendidikan.”
Sedangkan kata ‘profesi’ secara umum memang sering kali dilekatkan pada kata ‘kependidikan.’ Namun secara yuridis, baik dalam UU No. 2/2009, tentang sisdiknas, maupun dalam UU No. 20/2003, tentang Sisdiknas, tidak dikenal istilah profesi kependidikan. Kata ‘profesi’ dalam kedua Undang-undang itu dikenakan untuk suatu gelar bersamaan dengan gelar akademik dan vokasi. Kedua Undang-undang tersebut menggunakan dua istilah sebagai ‘pengganti’ kata profesi, yaitu ‘pendidik’ dan ‘tenaga  kependidikan.’ Perihal pendidik dan tenaga kependidikan diatur dalam Bab XI UU No. 20/2003, tentang Sisdiknas. Pasal 39 menyatakan bahwa, (1) Tenaga Kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan; (2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang  bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pada penjelasannya disebutkan bahwa tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.
Perihal pendidik, yaitu guru dan dosen, secara yuridis diakui sebagai pekerjaan atau profesi yang profesional dalam UU No. 14/2005, tentang Guru dan Dosen. Pada Bab I pasal 1 dinyatakan bahwa; 1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama pendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah; 2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Sekarang menjadi jelas, pertanyaan pertama sudah terjawab bahwa ada identitas profesi yang melekat pada pekerjaan atau profesi di dunia keguruan dan ilmu pendidikan. Sedangkan pertanyaan kedua terkait dengan definisi ‘profesional.’ Sebagaimana disebut dalam UU No. 14/2005, tentang Guru dan Dosen, profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (Pasal 1, Ayat 4).
Berdasarkan definisi profesional tersebut di atas, maka profesi kependidikan, baik pendidik maupun tenaga kependidikan seyogyanya melekat sedikitnya 6 (enam) syarat berikut ini.
1.     Merupakan jenis pekerjaan tetap, bukan pekerjaan sambilan.
2.     Memerlukan keahlian tertentu.
3.     Memerlukan kemahiran.
4.     Memerlukan kecakapan yang memenuhi standar mutu (kompetensi).
5.     Memerlukan norma (kode etik profesi).
6.     Memerlukan pendidikan profesi.

Pertanyaan selanjutnya, apakah syarat-syarat tersebut sudah sesuai dan atau sejalan dengan kajian akademik tentang profesi yang profesional? Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif, berikut ini dikemukakan kajian akademik tentang profesi yang profesional menurut para ahli dengan berbagai macam pendekatannya.
Good (1973), mengatakan bahwa jenis pekerjaan atau profesi yang berkualifikasi profesional memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri dimaksud, antara lain, memerlukan persiapan atau pendidikan khusus bagi calon pelakunya, misalnya, pendidikan prajabatan yang relevan; kecakapan seorang pekerja profesional dituntut memenuhi persyaratan yang telah dibakukan oleh pihak yang berwenang, misalnya, oleh suatu konsorsium, organisasi profesional, atau pemerintah; jabatan profesional tersebut mendapat pengakuan dari masyarakat dan atau negara dengan segala efek publiknya.
Tjokorda Raka Joni (1980), mengatakan bahwa jabatan profesional perlu dibedakan dari jenis pekerjaan yang menuntut dan dapat dipenuhi lewat pembiasaan melakukan keterampilan tertentu seperti magang, keterlibatan langsung dalam situasi kerja di lingkungannya, atau keterampilan kerja sebagai warisan orang tua atau pendahulunya. Seorang pekerja profesional perlu dibedakan dari seorang teknisi. Keduanya dapat saja tampil dengan kinerja yang sama, misalnya, menguasai teknik kerja yang sama, menguasai prosedur kerja yang sama, dan dapat memecahkan masalah-masalah teknis dalam bidang kerjanya. Akan tetapi, berbeda dengan teknisi, seorang pekerja profesional masih dituntut menguasai visi yang mendasari keterampilannya yang menyangkut wawasan filosofis, pertimbangan rasional, dan memiliki sikap yang positif dalam melaksanakan serta mengembangkan mutu pekerjaan atau karyanya.
Wardiman Djojonegoro (1998), menyatakan bahwa profesionalisme dalam suatu jabatan ditentukan oleh tiga faktor penting. Ketiga faktor tersebut adalah berikut ini.
1.     Memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau spesialisasi.
2.     Kemampuan untuk memperbaiki keterampilan dan keahlian khusus yang dikuasai.
3.     Penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian khusus yang dimilikinya.
Vollmer & Mills (1966), mengatakan bahwa profesi adalah sebuah jabatan yang memerlukan kemampuan intelektual khusus, yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan pelatihan yang bertujuan untuk menguasai keterampilan atau keahlian dalam melayani atau memberikan advis pada orang lain, dengan memperoleh upah atau gaji dalam jumlah tertentu. Dikatakan pula bahwa profesi berarti juga suatu kompetensi khusus yang memerlukan kemampuan intelektual tinggi, yang mencakup penguasaan atau didasari pengetahuan tertentu.
Berdasarkan kajian akademik tentang profesi, banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan apakah profesi kependidikan merupakan profesi yang profesional. Beberapa diantaranya ialah pendekatan daftar, pendekatan karakteristik, pendekatan institusional, dan pendekatan legalistik. Pendekatan daftar sudah dibahas  di Bab I buku ini. Sedangkan pendekatan karakteristik antara lain dikemukakan oleh Lansbury (1978). Pendekatan karakteristik (trait approach) memandang bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang membedakannya dengan pekerjaan lainnya. Para penyandang profesi dapat disebut profesional manakala elemen-elemen inti itu sudah menjadi bagian intergral dari kehidupannya. Hasil studi beberapa ahli mengenai sifat-sifat atau karakteristik-karakteristik profesi itu menghasilkan kesimpulan seperti berikut ini.
a.    Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan.
Pendidikan dimaksud adalah jenjang pendidikan tinggi. Termasuk dalam kerangka ini, pelatihan-pelatihan khusus yang berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki oleh seorang penyandang profesi.
b.   Memiliki pengetahuan spesialisasi
Pengetahuan spesialisasi adalah sebuah kekhususan penguasaan bidang keilmuan tertentu.
c.    Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien.
Pengetahuan khusus itu bersifat aplikatif, dimana aplikasi didasari atas kerangka teori yang jelas dan teruji. Makin spesialis seseorang, makin mendalam pengetahuannya di bidang itu, dan makin akurat pula layanannya kepada klien.
d.   Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan
e.    Meiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara mandiri.
Istilah mandiri di sini berarti kewenangan akademiknya melekat pada dirinya. Pekerjaan yang dia lakukan dapat dikelola sendiri, tanpa bantuan orang lain, mesti tidak berarti menafikan bantuan atau mereduksi semangat kolegalitas.
f.    Memetingkan kepentingan orang lain (altruism)
g.   Memiliki kode etik
h.   Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunitas
i.     Mempunyai sistem upah
Sistem upah yang dimaksudkan di sini adalah standar gaji.
j.     Budaya profesional
Budaya profesi, bisa berupa penggunaan simbol-simbol yang berbeda dengan simbol-simbol untuk profesi lain.

Pendekatan institusional (institutional approach) memandang profesi dari segi proses institusional atau perkembangan asosiasional. Artinya, kemajuan suatu pekerjaan ke arah percapaian status ideal suatu profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang harus dilalui untuk melahirkan proses pelembagaan suatu pekerjaan menuju profesi yang sesungguhnya. Caplow (1975) dan Wilensky (1976), menganut pendekatan ini.
Menurut Caplow (1975), yang banyak dikutip berbagai peneliti dan ahli sosiologi profesi, ada lima tahap profesionalisasi suatu profesi.
1.     Menetapkan organisasi profesi
Organisasi profesi merupakan sebuah organisasi yang keanggotaanya terdiri dari orang-orang yang seprofesi, sepekerjaan sejenis, atau seminat.
2.     Mengubah dan menetapkan pekerjaan itu menjadi suatu kebutuhan
Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah bahwa pekerjaan itu dibutuhkan oleh masyarakat, umumnya dalam bentuk jasa atau layanan khusus yang bersifat khas.
3.     Menetapkan dan mengembangkan kode etik
Kode etik ini merupakan norma-norma yang menjadi acuan perilaku. Kode etik itu bersifat mengikat bagi penyandang profesi, dalam arti bahwa pelanggaran kode etik berarti mereduksi martabat profesinya.
4.     Melancarkan agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat. Dukungan di sini bermakna pengakuan. Tidak jarang pula suatu organisasi atau kelompok profesi mempunyai kekuatan khusus (bargaining power) yang diperhitungkan oleh masyarakat, penguasa, dunia kerja, dan lain-lain.
5.     Mengembangkan fasilitas pelatihan
Fasilitas latihan merupakan wahana bagi penyandang profesi untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya menuju sosok profesi yang sesungguhnya.
Sedangkan Wilensky (1976), mengemukakan bahwa langkah-langkah untuk mendapatkan pengakuan profesional suatu profesi adalah berikut ini.
1.   Memunculkan suatu pekerjaan yanag penuh waktu (full-time), bukan pekerjaan sambilan
Sebutan full-time mengandung makna bahwa penyandang profesi menjadikan suatu pekerjaan tertentu sebagai pekerjaan utamanya. Tidak berarti tidak ada kesempatan baginya untuk melakukan usaha kerja lain sebagai pekerjaan tambahan yang menghasilkan penghasilan tambahan pula.
2.   Menetapkan lembaga pendidikan sebagai tempat menjalani proses pendidikan atau pelatihan
Jenis profesi tertentu hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang tertentu pula, terutama perguruan tinggi.
3.   Mendirikan asosiasi profesi
4.   Melakukan agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap asosiasi atau perhimpunan profesi.
5.   Mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan
Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan seorang penyandang pekerjaan profesional dalam bekerja.

Pendekatan legalistik (legalistic approach), adalah pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh negara atau pemerintah. Suatu pekerjaan dapat disebut profesi yang profesional jika dilindungi oleh Undang-undang atau produk hukum yang ditetapkan oleh pemerintah suatu negara. Menurut Friedman (1976), pengakuan atas suatu pekerjaan menjadi suatu profesi profesional dapat ditempuh melalui tiga tahapan, yaitu: registrasi (registration), sertifikasi (certification), dan lisensi (licensing).
1.     Registrasi (registration) adalah suatu aktivitas dimana seseorang yang ingin melakukan pekerjaan profesional, terlebih dahulu rencananya harus diregistrasikan pada kantor registrasi  milik negara. Pada saat registrasi tersebut, semua persyaratan yang diperlukan harus dipenuhi oleh yang bersangkutan. Setelah itu diteliti persyaratannya oleh staf kantor registrasi dan dipertimbangkan secara seksama.
2.     Sertifikasi (certification) mengandung makna, jika hasil penelitian atas persyaratan pendaftaran yang diajukan oleh calon penyandang profesi dipandang memenuhi persyaratan, kepadanya diberikan pengakuan oleh negara atas kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Bentuk pengakuan tersebut adalah pemberian sertifikat kepada penyandang profesi tertentu, yang di dalamnya memuat penjelasan tentang kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh pemegangnya, berikut kewenangannya.
3.     Lisensi (licensing) mengandung makna, bahwa atas dasar sertifikat yang oleh seseorang , barulah orang tersebut memperoleh izin atau lisensi dari negara untuk mempraktikan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, misalnya memberikan jasa pelayanan, konsultasi atau tritmen kepada klien.
Berdasarkan kajian akademik beberapa ahli di atas, nampak jelas bahwa definisi profesional menurut UU No. 14/2005, tentang Guru dan Dosen, memenuhi elemen-elemen inti yang dipersyaratkan kapan suatu profesi atau pekerjaan di dunia pendidikan dikatakan profesional. Kajian akademik tentang profesi yang profesional melekat pula pada ketentuan tentang hak dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 40, UU No. 20/2003, tentang Sisdiknas sebagai berikut.
1.     Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
a.       Penghaasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memada;
b.       Penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c.       Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d.       Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan
e.       Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
2.     Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a.       Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
b.       Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
c.       Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Sedangkan perihal sertifikasi dan imbal jasa sebagai salah satu elemen profesi yang profesional sudah tertera dalam Pasal 42 UU No. 20/2003, tentang Sisdiknas yang mengatur bahwa: (1) Pendidik harus memilili kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; (2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pandidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi. Sedangkan pasal 43 UU No. 20/2003, tentang Sisdiknas mengatur bahwa: (1) Promosi dan penghargaan bagi peserta didik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan; (2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

B. RUANG LINGKUP PROFESI KEPENDIDIKAN
Berdasarkan kajian akademik dan pendekatan legalistik sebagaimana dideskripsikan sebelumnya, maka ruang lingkup profesi kependidikan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu profesi pengajaran (teaching profession) yang dalam konteks Indonesia disebut tenaga pendidik, yaitu tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widya-iswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan, dan bukan pendidik (non-teaching profession), yaitu tenaga kependidikan terdiri atas sejumlah profesi yang sebagian besar diantaranya memperoleh status profesi sebagai jabatan fungsional dari pemerintah.
            Beberapa profesi yang termasuk dalam ruang lingkup profesi kependidikan dimaksud antara lain berikut ini.
1.     Guru
Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdinas; UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; PP No 74/2008 tentang Guru, mendefisikan guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan melatih, menilai, dan megevaluasi pesera didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesi guru dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No 87/1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsioanal Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan Peraturan Menteri Negara  Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Pengertian jabatan fungsional guru adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan megevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang diduduki oleh PNS.
2.     Dosen
Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; PP No.37/2009 tentang dosen, mendefisikan dosen sebagai pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Profesi dosen dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No. 87/1999, tentang Rumpun Jabatan Fungsioanal Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (MENKOWASBANGPAN) No. 38/KEP/MK. WASPAN/8/1999 tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya, yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Men-PAN No. PER/60/M. PAN/6/2005. Dosen berkedudukan sebagai pejabat fungsional dengan tugas utama mengajar pada perguruan tinggi.
3.     Pengelola Satuan Pendidikan
Sesuai denagan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas; PP No.17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan; PP No. 66/2010 tentang Perubahan terhadap PP N0. 17/2010, yang dimaksud dengan pengelola satuan pendidikan adalah pemegang pengaturan kewenangan dalam penyelenggaraansistem pendidikan nasional, yaitu pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kot, penyelenggra pendidikan yang didirikan yang didirikan masyarakat, dan satuan pendidikanagar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam bahasa tekhnis, pengelola satuan pendidikan adalah para manajer dan birokrat pendidikan, baik dalam lingkungan pemeriontah maupun swasta.
4.     Penillik
Profesi penilik dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No. 87/1999, tentang Rumpun Jabatan Fungsioanal Pegawai Negeri Sipil (PNS); dan berdasarkan Menteri Negara  Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 14 tahun 2010 tentang jabatan Fungsional Penilik dan Angka Kreditnya. Penilik adalah tenaga kependidikan dengan tugas utama melakukan kegiatan pengendalian mutu dan evaluasi dampak program pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan kesetaraan dan keaksaraan, serta kursus pada jalur Pendidikan Non-Formal dan Informal (PNFI). Jabatan fungsional adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan pengendalian mutudan evaluasi dampak PAUD, pendidikan kesetaraan dan keaksaraan, serta kursus pada jalur PNFI sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang diduduki oleh PNS. Menurut PP No. 19 /tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dalam Pasal 40 dinyatakan bahwa kriteria minimal untuk menjadi penilik adalah: a. Berstatus sebagai pamong belajar/pamong atau jabatan sejenisdilingkungan pendidikan luar sekolah dan pemuda sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, atau pernah menjadi pengawas Satuan Pendidikan formal.; b. Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran seseuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. Memiliki sertifikat pendidikan fungsional sebagai penilik; d. Lulus seleksi sebagai pendidik.
5.     Pamong Belajar
Profesi pamong belajar dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No. 87/1999, tentang Rumpun Jabatan Fungsioanal Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan berdasarkan peraturan Menteri Negara  Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 15 tahun 2010 tentangJabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya. Pamong belajar adalah  pendidik dengan tugas utama melakukan kegiatan belajar mengajar, pengkajian program, dan pengembangan model PNFI pada Unit Pelaksana tekhnis daeerah (UPTD) dan satuan PNFI. Jabatan Fungsional Pamong Belajar adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan kegiatan belajar mengajar, pengkajian program, dan pengembangan modelPNFI pada UPT/UPTD dan satuan PNFI sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang diduduki PNS.
6.     Pengawas
Profesi pengawas satuan pendidikan dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No.87/1999, tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS; Keputusan MENPAN no.118/1996 tentang jabatan fungsional pengawas sekolah dana anggota kreditnya; keputusan bersama mendikbud dan kepala BAKN No. 0322/O/1996 dan No.38 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawasan sekolah dan angka kreditnya; keputusan mendikbud No. 020/U/1998 tentang petunjuk tekhnis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah dan kreditnya; dan permendiknas No. 19 tahun 2005 tentang jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya. Pengawas satuan pendidikan adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan disekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi tekhnis pendidikan dan administrasi. Menurut PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dalam pasal 39 dinyatakan bahwa kriteria minimal untuk menjadi Pengawas Satuan Pendidikan meliputi; 1. Berstatus sebagai guru sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun atau Kepala Sekolah Sekurang-kurangnya 4(empat) tahun pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan satuan pendidikan yang diawasi; 2. Memiliki sertifikat pendidikan fungsional sebagai pengawas satuan pendidikan; 3. Lulus seleksi sebagai Pengawas Satuan Pendidikan.
7.     Pustakawan
Profesi pustakawan dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No. 87/1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS, KEPMEMPAN Nomor 12 tahun 20o2 tentang jabatan Fungsional Pustakawan dan angka kreditnys. Jabatan Fungsional Pustakawan terdiri dari dua tingkat yaitu Pustakawan Terampil dan pustakawan Tingkat Ahli. Jabatan Fungsional pustakawan pada umumnya PNS terkait dengan masalah profesionalisme. Profesionalisme pustakawn tercermin pada kemampuan (pengetahuan, pengalaman, ketrampilan) dalam mengelola dan mengembangkan pelaksanaan pekerjaandibidang kepustakawan dan kegiatan terkait  lainnya secara mandiri. Peningkatan karir jabatan fungsional pustakawan sangat banyak ditentukan oleh kemauan individual dan kemandirian. Secara individual setiap pejabat fungsional pustakawan harus melaporkan hasil pelaksanaan pekerjaannya yang akan diberi bobot angka kredit untuk setiap jenis kegiatan sesuai dengan jenjang jabatannya.
8.     Pranata Laboratorium (Laboran)
Profesi pranata laboratorim (laboran) dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan keputusan presiden No. 87/1999tentang rumpun jabatan fungsional PNS; dan peraturan menteri negara pemberdayaan aparatur negara dan reformasi birokrasi nomor 03 tahun 2010 tentang jabatan fungsional pranata laboratorium pendidikan dan angka kreditnya, pranata laboratorim adlah jabatan fungsional dalam dunia pendidikan yang sebelumnya dikenal dengan laboran. Pranata laboran pendidikan (PLP) adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan pengelolaan laboratorium pendidikan yang diduduki oleh PNS dengan hak dan kewajiban yang diberikan secara penuh oleh pejabat yang berwenang jabatan fungsional PLP sebagaimana yang dimaksugd adalah jabatan karier yang hanya dapat diduduki oleh seorang yang telah berststus sebagai PNS. Tugas pokok PLP adalah mengelola laboratoriun, pengoprasian peralatan, dan bahan, pengevaluasian, sistem kerja laboratorium baik untuk pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
9.     Tekhnisi Sumber Belajar
Profesi tekhnisi sumber belajar dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan Keputusan Presiden No.87/1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS, dan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 45 tahun 2009 tentang Standar Tekhnisi Sumber Belajar Pada Kursus dan Pelatihan.
Untuk kepentingan penulisan buku ini, tidak semua profesi kependidikan dibahas. Hanya beberapa saja yang dipandang relevan diketengahkan pada bab-bab selanjutnya.

C. ISU PRESENTASI DAN SEMINAR
Sebagaimana diketahui, tidak semua profesi kependidikan terangkum dalam bab ini, bahkan sebagian diantaranya sebetulnyainheren dengan profesi guru sebagai syarat utamanya. Bagaimana dengan pekerjaan peneliti dan pengembang pendidikan? Bahaslah profesi tersebut apakah merupakan profesi kependidikan profesional? Gunakan kajian akademik profesionalisasi sebagai acuan untuk membahasnya.























BAB III
GURU SEBAGAI PROFESI KEPENDIDIKAN

Setelah mempelajari ini mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi berikut ini:
1.     Menjelaskan profil dan identitas profesi guru
2.     Mengartikulasikan kembali tugas utama dan kedudukan profesi guru
3.     Menguraikan kompetensi yang dipersyaratkan profesi guru
4.     Mengungkapkan berbagai dimensi pengembangan karier profesi guru dan kompleksitas problematikanya.
A.    PROFIL DAN IDENTITAS PROFESI
Selama lebih dari lima dasa warsa para ahli memperdebatkan idealisasi tenaga pengajar dan berupaya mengkristalkannya sebagai profesi professional. Menurut istilah Brian Rowan sebagaimana ditulis dalam Comparing Teachers’ Work With Work in Other Occupations:  Notes on The Profesional Status of Teaching (1994), hal itu disebut profesiisme. Suatu upaya untuk menerapkan faham profesi terhadap jabatan tenaga pengajar (baca: guru) dan membandingkannya dengan jabatan lain sehingga menjadikan profesi guru sebagai jabatan professional yang bias dibandingkan karakteristisknya dengn profesi lain.
Pada tingkat wacana, upaya itu sudah banyak menunjukan hasil. Di Amerika Serikat misalnya, menurut The Dictionary of Occupational Titles (1991) yang diterbitkan Departemen Tenaga Kerja AS, jabatan tenaga pengajar tercantum sebagai profesi dalam kelompok jabatan kependidikan dengan kode K-12 (Education Occupations). Termasuk dalam kelompok ini antara lain guru pendidikan dasar dan menengah, asisten guru, kepala sekolah, dan guru pembimbing.
Maksud profesiisme adlah untuk menunjukkan btapa kompleks pekerjaan guru berkaitan dengan manusia dan alat-alat. Kira-kira sama kompleks dengan pekerjaan seorang dokter. Tujuan akhir dari pembuktian itu ialah memperbaiki kedudukan status social guru yang berimplikasi pada tingginya imbal jasa professional. Namun agaknya upaya itu belum sepenuhnya berhasil. Sebagai suatu contoh, di Amerika Serikat imbal jasa terhadap guru rata-rata hanya 1,7 pendapatan per kapita Negara itu tiap bulannya. Bandingkan dengan Jepang yang member imbal jasa rata-rata 2,4 kali pendapatan per kapitanya (Mutrofin: 2007).
Bagaimana dengan profesi guru di Indonesia? Episode perjuangan bangsa mencatat, sebagaimana ditulis Mutrofin (2007), profesi guru sangat disegani penguasa colonial Hindia Belanda bersama dengan profesi dokter, jaksa, serta “pokrol bambu” alias pengacara. Itulah babak ketika profesi ini menjadi semacam pekerjaan yang menantang kaum muda di zamannya. Terutama mereka yang terpanggil untuk berbuat “sesuatu” bagi bangsanya. Karenanya tak mengherankan jika kemudian melahirkan aktivis politik yang menentang penjajahan Belanda dan sebagian besar terdiri atas guru-guru muda. Sebut misalnya Bung Hatta. Pada masa revolusi, dari kalangan mereka sebagian tak lagi mengajar, melainkan bertempur seperti halnya Panglima Besar Soedirman dan AH Nasution.
Namun tak ada guru yang begitu disegani seperti Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara. Ia bukan saja seorang pendidik tapi juga peletak pergerakan dasar nasional. Keturunan pangeran Sri Paku Alam III inilah yang bersama-sama dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Deker mendirikan partai politik pertama di tanah air pada tahun 1912 dengan nama Indisbe Partij sehingga mengakibatkan ketiganya dibui dan diasingkan ke negeri Belanda. Guru lain yang juga populer dalam sejarah karena kontak intensifnya dengan dunia politik tercatat Ki Sarino, Perumus konsep falsafah pendidikan Indonesia yang pernah menjabat sebagai Wakil Residen Pati dan Menteri Pendidikan pada masa Bung Karno. Guru pertanian Ki Sarino yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari IKIP Malang pada 1976.
Profil dan identitas profesi guru sepanjang sejarahnya mengalami pasang surut yang luar biasa. Berbeda dengan masa colonial, pada masa Orde Lama dan Orde Baru, profesi guru boleh dibilang “profesi kelas dua” (Sudarwan Danim, 2010). Hal itu bukan saja disebabkan karena pada umumnya menjadi guru adalah “panggilan jiwa” namun juga disebabkan banyaknya mitos yang dilekatkan kepada profesi guru yang nyaris membuat para guru “tersandera”. Pada masa-masa iru profesi guru dipandang sebelah mata. Guru, seperti yang dinyatakan oleh Ernest House, telah dibelenggu kondisi economic scarcity dan issolated profesion, suatu kondisi yang menyebabkan dirinya miskin dan terasing di lingkungannya. Daya tawar-menawar para guru yang tergolong silent majority itu sangat minimal. Sehingga seolah-olah sudah menjadi kodrat bahwa guru – meinjam istilah Mutrofin (2007) – ibarat “sapi perah” yang harus siap diambil sari madunya, diperas manfaatnya, diperlukan tenaganya, tetapi tetap dibiarkan bergumul penderitaan,ata u ibarat “sandal jepit”, kumuh dan diinjak-injak namun tetap dibutuhkan.
Pada masa Orde Baru, pemberlakuan Undang-Undang No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN); Peraturan Pemerintah (PP) No 38/1992 tentang Tenaga Kependidikan; dan SK Men-PAN No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, belum signifikan “mengubah” profil dan identitas profesi guru dimata masyarakat, lebih-lebih dikalangan akademisi dan dunia tenaga kerja.
Kini, zaman telah berubah. Perjuangan panjang untuk menjadikan profesi guru sebagai profesi yang professional hampir menampakkan hasil yang signifikan. Terutama setelah terjadi pembaruan pendidikan dan pengembangan profesi guru dan “ketatnya” persyaratan untuk menjadi guru. Pengakuan bahwa profesi guru adalah profesi yang professional semakin kukuh dengan diberlakukanya Keputusan Presiden No. 87/1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (PNS); Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas;  UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; PP No. 74/2008 tentang Guru; Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya; dan Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN No: 03/V/PB/2010,  Nomor: 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Guru didefinisikan sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Profesi guru adalah jabatan fungsional yang memiliki ruang linigkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang diduduki oleh PNS.
Jabatan fungsional guru adalah jabatan tingkat keahlian termasuk dalam rumpun pendidikan tignkat taman kanak-kanak, dasar, lanjutan, dan sekolah khusus. Jenis guru berdasarkan sifat, tugas, dan kegiatannya meliputi berikut ini:
1.   Guru Kelas
Guru kelas adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam proses pembelajaran seluruh mata pelajaran di kelas tertentu di TK/RA/BA/TKLB dan SD/MI/SDLB dan yang sederajat, kecuali mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan serta pendidikan agama.
2.   Guru Mata Pelajaran
Guru mata pelajaran adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam proses pembelajaran pada suatu mata pelajaran tertentu di sekolah/madrasah.
3.   Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor
Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik.

Jenjang jabatan fungsional guru dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, yaitu: a. Guru pertama (Penata Muda, golongan ruang III/a; dan Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b); b. Guru Muda(Penata, golongan ruang III/c; dan Penata Tingkat I, golongan ruang III/d); c. Guru Madya (Pembina, golongan ruang IV/a; Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b; dan Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c); dan d. Guru Utama(Pembina Utama Madya, golongan ruang IV/d; dan Pembina Utama, golongan ruang IVe).

B.    KEDUDUKAN DAN TUGAS POKOK
Menurut Brandt (1993), hamper seluruh upaya reformasi pendidikan seperti pembaruan kurikulum, pelaksanaan metode mengajar baru pada akhirnya bergantung pada guru. Tanpa guru menguasai bahan pelajaran dan strategi belajar mengajar, tanpa guru dapat mendorong siswa dapat mencapai prestasi tinggi, segala upaya meningkatkan mutu pendidikan tak akan berhasil optimal. Dengan kalimat lain, mutu pendidikan akan terjamin jika didukung oleh guru-guru yang professional.
Dalam konteks Indonesia, gruru berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang pembelajaran/bimbingan dan tugas tertentu pada jenjang pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Hal itu berarti kedudukan guru dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan bimbingan dan konseling merupakan kedudukan sentral yang tidak mungkin tergantikan posisinya, oleh mesin sekali pun. Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan guru dalam menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran yang bermutu, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, menyusun dan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan terhadap peserta didik. Sedangkan kegiatan bimbingan dan konseling adalah kegiatan guru dalam menyusun rencana bimbingan dan konseling, melaksanakan bimbingan dan konseling, mengevaluasi proses dan hasil bimbingan dan konseling, serta melakukan perbaikan tindak lanjut bimbingan dan konseling dengan memanfaatkan hasil evaluasi.
Tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/ madrasah. Beban kerja guru untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan/atau melatih sebagaimana dimaksud paling sedikit 24(duapuluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40(empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Beban kerja Guru bimbingan dan konseling/ konselor adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikiy 150 (seratus limapuluh) peserta didik dalam 1 (satu) tahun.
Guru memiliki kewajiban, tanggung jawab, dan wewenang. Kewajiban guru dalam melaksanakan tugas adalah berikut ini:
a.      Merencanakan pembelajaran/ bimbingan, melaksanakan pembelajaran/ bimbingan yang bermutu, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran/ bimbingan, serta melaksanakan pembelajaran/ perbaikan dan pengayaan;
b.     Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
c.      Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, dan status social ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d.     Menjungjung tinggi peraturan perundang-undangan, hokum, dank ode etik Guru, serta nilai agama dan etika; dan
e.      Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Guru bertanggung jawab menyelesaikan tugas utama dan kewajiban sebagai pendidik sesuai dengan yang dibebankan kepadanya. Guru berwenang memilih dan menentukan materi, strategi, metode, media pembelajaran/bimbingan, dan alat penilaian/evaluasi dalam melaksanakan proses pembelajaran/ bimbingan untuk mencapai hasil pendidikan yang bermutu sesuai dengan kode etik profesi Guru. Terkait soal kewenangan tersebut, menarik diperhatikan pandangan Sheldon Shaeffer – pakar pendidikan dari unicef (1995) - dalam Mutrofin (2007), yang menyatakan, karena guru ibarat bukan keranjang yang diisi penuh lalu dikeluarkan lagi untuk murid-muridnya, maka guru harus diberi kemerdekaan mengajar dalam kelas, dibebaskan dari aturan-aturan ketat dari atas dan diberi kebebasan dalam berinovasi.
Rincian kegiatan Guru Kelas yang mendapatkan pengakuan sebagai kinerja profesi adalah berikut ini:
a.    menyusun kurikulum pembelajaran pada satuan pendidikan;
b.   menyusun silabus pembelajaran;
c.    menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran;
d.   melaksanakan kegiatan pembelajaran;
e.    menyusun alat ukur/soal sesuai mata pelajaran;
f.    menilai dan mengevaluasi proses dan hasil belajar pada mata pelajaran dikelasnya;
g.   menganalisis hasil penilaian pembelajaran;
h.   melaksanakan pembelajaran/perbaikan dan pengayaan dengan memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi;
i.     melaksanakan bimbingan dan konseling di kelas yang menjadi tanggung jawabnya;
j.     menjadi pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat sekolah dan nasional;
k.   membimbing guru pemula dalam program induksi;
l.     membimbing siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran;
m. melaksanakan pengembangan diri;
n.   melaksanakan publikasi ilmiah; dan
o.   membuat karya inovatif.
Rincian kegiatan Guru Mata Pelajaran yang mendapatka pengakuan sebagai kinerja profesi adalah berikut ini:
a.    menyusun kurikulum pembelajaran pada satuan pendidikan;
b.   menyusun silabus pembelajaran;
c.    menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran;
d.   melaksanakan kegiatan pembelajaran;
e.    menyusun alat ukur/soal sesuai mata pelajaran;
f.    menilai dan mengevaluasi proses dan hasil belajar pada mata pelajaran yang diampunya;
g.   menganalisis hasil penilaian pembelajaran;
h.   melaksanakan pembelajaran/perbaikan dan pengayaan dengan memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi;
i.     menjadi pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat sekolah dan nasional;
j.     membimbing guru pemula dalam program induksi;
k.   membimbing siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran;
l.     melaksanakan pengembangan diri;
m. melaksanakan publikasi ilmiah; dan
n.   membuat karya inovatif.
Rincian kegiatan Guru Bimbingan dan Konseling yang mendapatkan pengakuan sebagai kinerja profesi adalah sebagai berikut:
a.    menyusun kurikulum bimbingan dan konseling;
b.   menyusun silabus bimbingan dan konseling;
c.    menyusun satuan layanan bimbingan dan konseling;
d.   melaksanakan bimbingan dan konseling per-semester;
e.    menyusun alat ukur/lembar kerja program bimbingan dan konseling;
f.    mengevaluasi proses dan hasil bimbingan dan konseling;
g.   menganalisis hasil bimbingan dan konseling;
h.   melaksanakan pembelajaran/perbaikan tindak lanjut bimbingan dan konseling dengan memanfaatkan hasil evaluasi;
i.     menjadi pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat sekolah dan nasional;
j.     membimbing guru pemula dalam program induksi;
k.   membimbing siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran;
l.     melaksanakan pengembangan diri;
m. melaksanakan publikasi ilmiah; dan
n.   membuat karya inovatif.
Selain itu, guru dapat melaksanakan tugas tambahan dan/atau tugas lain yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah sebagai:
a.    kepala sekolah/madrasah;
b.   wakil kepala sekolah/madrasah;
c.    ketua program keahlian atau yang sejenisnya;
d.   kepala perpustakaan sekolah/madrasah;
e.    kepala laboratorium, bengkel, unit produksi, atau yang sejenisnya pada sekolah/madrasah; dan
f.    pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi.

C.      PROFESIONALISME DAN KOMPETENSI
Menurut Moh. Uzer Usman (1991) dalam Sudarwan Danim (2010), guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini mestinya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang diluar bidang kependidikan. Berdasarkan pandangan tersebut seharusnya setiap penyelenggara dan pengelola satuan pendidikan, baik negeri maupun swasta tidak boleh mengangkat sembarang orang menjadi guru, dengan alas an otonomi daerah sekalipun. Jika kemudahan mengangkat sembarang orang menjadi guru terus dilakukan, maka dampaknya kan luar biasa. Selain menumpulkan kembali profesionalitas profesi (deskilled profession) yang berakhir pada tidak tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Terkait dengan profesinalisme profesi guru, unsure terpenting yang relevan dipenuhi sebagi persyaratan umum menjadi guru minimal ada tiga hal yaitu, kualifikasi akademik, penguasaan sejumlah kompetensi sebagai ketrampilan atau keahlian khusus yang diperlukan untuk melaksanakan tugas mendidik dan mengajar secara efektif dan efisien; serta sertifikasi bagi para guru yang dipandang memenuhi kedua syarat sebelumnya; dan tentu saja harus sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Hingga buku ini ditulis, kualifikasi akademik guru sebagaimana dimaksud ditunjukkan dengan ijazah yang merefleksi kemampuan yang dipersyaratkan bagi guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan S-1 atau program D-IV pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dan/atau program pendidikan non-kependidikan. Kualifikasi akademik guru bagi calon guru dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi guru. Sementara kualifikasi akademik bagi guru dalam jabatan diperoleh melalui pendidikan kesetaraan dan pendidikan lain sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan tentang pendidikan nasional dan guru.
Terkait kompetensi, Muhibin Syah (1995) dalam Sudarwan Danim (2010) menjelaskan bahwa pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme. Guru yang professional adalah guru yang kompeten (berkemampuan). Karena itu kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya dengan kemampuan tinggi.
Sudah sering dibahas bahwa trigger kualitas profesi guru sangat beragam. Keragaman korelat mutu ini sangat memaksa pengelolaan proofesi guru menjadi multidimensional. Tidak ada solusi unilateral yang begitu hebat untuk mengatrol kualitas guru dimanapun di dunia. Dari aras institusi misalnya, persiapan calon tenaga guru (preservice education) tidak melulu mengandalkan instrument masukan berupa calon guru yang memiliki standar kognitif cemerlang. Lebih dari itu juga diperlukan tenaga dosen dan fasilitas pembelajaran dan pelatihan yang sesempurna mungkin.
Dari catatan riset tentang status profesional pengajaran di Amerika Serikat sebagaimana diungkap Brian Rowan (1994) dalam Comparing Teacher’s work With Work in Other Ocuppations, masing-masing Negara bagian menetapkan parameter dan standar kualitas yang berbeda-beda. Namun secara substansial, semua sepakat bahwa profesi guru memiliki kompleksitas kerja yang sangat tinggi dan professional karena didului oleh persiapan pendidikan yang memadai. Substansi ini berlaku untuk berbagai definisi tentang status proofesional guru, baik sebagai buruh, pekerja terampil, pekerja seni maupun sebagai profesi professional. Oleh karena itu, ada abstraksi umum, selain calon guru harus well educated juga mestilah well trained dan well paid (Mutrofin, 2007).
Terkait abstraksi terakhir, melalui serangkaian riset, Reyes (1990) dalam Teachers and their Workplace: Commitment, Performance, and Productivity, sampai pada bahan untuk peningkatan  on-the-job learning, kesehatan psikologis dan kepuasan kerja. Ketiga kebutuhan dimaksud jelas tidak mungkin disediakan oleh institusi penghasil guru, melainkan hidup dinamis seiring dengan kebijakan nasional di bidang keguruan dan apresiasi msyarakat pemakai tenaga guru.
Berdasarkan kenyataan itu, sangat jelas bahwa korelat profesi guru yang professional dan berkualitas tak seluruhnya menjadi tanggung jawab institusi pencetak tenaga guru. Pemerintah dan masyarakat turut pula memikulnya.
Dalam menentukan profesionalisme dan kompetensi seorang guru, banyak kajian akademik bias diketengahkan. Kajian paling lengkap dikemukakan oleh Kellough (1998) dalam Sudarwan Danim (2010). Menurut Kellough, kompetensi profesi guru mencakup elemen inti berikut ini:
a.    Guru harus menguasai pengetahuan tentang materi pelajaran yang diajarkannya.
b.   Guru merupakan anggota aktif organisasi profesi guru, membaca jurnal professional, melakukan dialog dengan sesame guru, mengembangkan kemahiran metodologi, membina siswa dan materi pelajaran.
c.    Guru memahami proses belajar dalam arti siswa memahami tujuan belajar, ahrapan-harapan dan prosedur yang terjadi dikelas.
d.   Guru adalah “perantara pendidikan” yang tidak perlu tahu segala-galanya, tetapi paling tidak tahu bagaimana dan dimana dapat memperoleh pengetahuan.
e.    Guru melaksanakan perilaku sesuai model yang diinginkan didepan siswa.
f.    Guru terbuka untuk berubah, berani mengambil resiko dan siap bertanggung jawab.
g.   Guru tidak berprasangka gender, membedakan jenis kelamin, etnis, agama, penderita cacat dan status social.
h.   Guru mengorganisasi kelas dan merencanakan pelajaran secara cermat.
i.     Guru merupakan komunikator-komunikaator yang efektif.
j.     Guru harus berfungsi secara efektif sebagai pengambil keputusan.
k.   Guru harus secara konstan meningkatkan kemampuan, misalnya dalam strategi mengajar.
l.     Guru secara nyata menaruh perhatian pada kesehatan dan keselamatan siswa.
m. Guru harus optimis terhadap kondisi belajar siswa dan menyiapkan situasi belajar yang positif dan konstruktif.
n.   Guru memperlihatkan rasa percaya diri pada setiap kemampuan siswa untuk belajar.
o.   Guru harus terampil dan adil dalam menilai proses dan hasil belajar siswa.
p.   Guru harus memperlihatkan perhatian terus menerus dalam tanggung jawab professional dalam setiap kesempatan.
q.   Guru harus terampil bekerja dengan orang tua atau wali, sesama guru, administrator, dan memelihara hubungan baik sesuai etika professional.
r.    Guru memperlihatkan minat dan perhatian luas tentang berbagai hal.
s.    Guru sebaiknya memiliki humor yang  sehat.
t.     Guru harus mampu mengenali secara cepat siswa yang memerlukan perhatian khusus.
u.   Guru harus melakukan usaha khusus untuk memperlihatkan bagaimana materi pelajaran berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
v.   Guru hendaknya dapat dipercaya, baik dalam membuat perjanjian maupun kesepakatan.

Laporan utama jurnal Educational Leadership edisi Maret 1993, mengetngahkan lima ukuran seorang guru dikatakan professional, yakni: (1) memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya; (2) menguasai secara mendalam bahan ajar dan caara mengajarkannya; (3) bertaanggungjawab memantau kemajuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi; (4) mampu berfikir sistematis dalam melakukan tugasnya; dan (5) seyogyanya menjadi bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Adapun kompetensi guru sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi guru bersifat holistik, tidak bagian per bagian atau berdiri sendiri.
Kompetensi pedagogic merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi:
a.    Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
b.   Pemahaman terhadap peserta didik;
c.    Pengembangan kurikulum atau silabus;
d.   Perancangan pembelajaran;
e.    Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f.    Pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g.   Evaluasi hasil belajar; dan
h.   Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang:
a.    beriman dan bertakwa;
b.   berakhlak mulia;
c.    arif dan bijaksana
d.   demokratis;
e.    mantap;
f.    berwibawa;
g.   stabil;
h.   dewasa;
i.     jujur;
j.     sportif;
k.   menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
l.     secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri; dan
m. mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk:
a.    berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun;
b.   menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;
c.    bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik.
d.   bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta system nilai yang berlaku; dan
e.    menerapkan prinsip persaidaraan sejati dan semangat kebersamaan.

Kompetensi professional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan:
a.    materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan
b.   konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
Sebagaimana dikatakan Friedman (1976), pengakuan atas suatu pekerjaan menjadi suatu profesi professional dapat ditempuh melalui tiga tahapan. Tahapan kedua setelah seseorang dianggap memenuhi persyaratan sebagai guru ialah sertifikasi (certification). Sertifikasi (certification) mengandung makna pemberian pengakuan oleh Negara atas kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya. Bentuk pengakuan tersebut adalah pemberian sertifikat kepada penyandang profesi, yang didalamnya memuat penjelasan tentang kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh pemegangnya, berikut kewenangannya.  Sertifikasi dengan demikian adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru, sedangkan sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga professional.
Di Indonesia, sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah. Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud hanya diikuti oleh peserta didik yang telah memiliki kualifikasi akademik S-1 atau D-IV sesuai dengan peraturan prundang-undangan. Delapan belas bulan setelah UU. No. 14/2005 tentang Guru Dan Dosen diberlakukan, pemerintah melaksanakan program sertifikasi pendidik.
D. PENDIDIKAN, PENGEMBANGAN DAN PENILAIAN KINERJA
1. Pendidikan Guru
Pendidikan guru di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang sejak masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Akan tetapi, titik berangkat pembaruan pendidikan guru secara signifikan dapat dikatakan terjadi sejak tahun 1979. Setelah bekerja keras selama empat tahun sejak 1975, Konsorium Ilmu Pendidikan berhasil menelurkan Pedoman Pola Pembaruan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan (PP-SPTK) pada 1979. PP-SPTK yang terdiri atas lima buku pedoman itu, dianggap banyak kalangan sebagai langkah mendasar dalam memperbaiki profesionalisme guru dari sisi institusi. Banyak orang menyangka akan terjadi “revolusi” dalam hal mutu pendidikan sebagai imbasnya. Faktanya, justru banyak yang malah kecewa. Sepanjang waktu lebih dari empat belas tahun sejak lahirnya pembaruan itu, tak henti-hentinya orang mempersoalkan betapa profesionalisme para guru melorot terus. Meskipun upaya tambal sulam lain juga dilakukan.
Hal itu disebabkan karena kita “menjiplak” begitu saja sistem pendidikan guru sebagaimana berlaku di Amerika. Konsep Pendidikan Guru Berbasis Kompetensi (Competence-Based Teacher Education/CBTE) diterapkan tanpa respek apapun. Maksunya, tidak memperhitungkan kesiapan lembaga pendidikan guru, baik ditinjau dari segi tenaga pendidik, sarana dan prasarana, perpustakaan mendukung, serta budaya belajar. Padahal CBTE itu bertujuan agar para calon guru kelak dapat menjadi guru profesional, memiliki profil kompetensi seperti diharapkan.
Dari berbagai diskusi mengenai CBTE, lahirlah sepuluh profil kemampuan dasar (kompetensi) guru. Keseluruh profil kompetensi itu lantas menjadi ukuran profesionalisme guru, ukuran guru ideal. Secara teoritis, kesepuluh profil kompetensi memang bagus. Tetapi dalam pelaksanaannya tidak measurable (sukar diukur). Instrumen pengukurannya belum diciptakan. Alhasil, jadilah sepuluh profil kompetensi hanya sebatas wacana. Bahkan kajian yang dari waktu ke waktu dijejalkan kepada para calon guru. Dalam kaitan ini kita percaya, ukuran memang bisa beragam, bergantung pada siapa yang mengukur. Keberagaman itu berimplikasi pada pembianaan yang berbeda-beda pula. Tetapi banyak yang menyakini diantara keberagaman tentu ada kesamaan. Sekurang-kurangnya, seseorang dianggap profesional bila memiliki keahlian, komitmen, dan skill relevan (Mutrofin, 2007). Sepuluh kompetensi itulah yang antara lain menjadi dasar perumusan empat komtensi guru sebagaimana dikemukakan di muka.
Jauh sebelum UU-RI No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) diberlakukan, pemerintah melakukan kebijakan mendasar dengan menghapuskan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) yang sebelumnya diberi kewenangan untuk mencetak tenaga guru Pendidikan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Sebagai penggantinya dibukalah program pendidikan guru sekolah dasar dan taman kanak-kanak D-II dan kesetaraannya. Pada saat yang sama, pemerintah juga “menghapus” Fakultas Keguruan (FKg) di Universitas dan meleburnya menjadi FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) yang diberi kewenangan untuk mencetak guru pendidikan dasaar hingga pendidikan menengah bersama IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan).
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (keguruan dan ilmu pendidikan) atau LPTK, menurut PP No. 38/1992 tentang Tenaga Kependidikan, ditunjuk khusus untuk menghasilkan tenaga kependidikan (tenaga pendidik dan bukan tenaga pendidik). Terkait lulusan LPTK, persoalan elementer yang dihadapi jenjang pendidikan dasar ialah terjadinya disparitas (ketimpangan), baik mutu maupun jumlah. Di jenjang pendidikan menengah dan tinggi, terjadi kekurangsesuaian (mismatch) dan irrelevansi. Sementara itu secara makro ditengarai terjadi dua fenomena, yakni persediaan tenaga kependidikan berlebih (over supply) dan rendahnya mutu calon mahasiswa LPTK.
Menghadapi berbagai persoalan mendasar itu, dilakukan langka-langkah antara lain: 1) sejumlah program studi dicciutkan, digabung dan ditutup; 2) sejak tahun 1992 diberlakukan kurikulum fleksibel dengan memberikan kewenangan yang lebih luwes kepada lulusan LPTK; 3) sejumlah IKIP swasta beralih fungsi menjadi universitas; dan 4) menyalurkan lulusan LPTK ke instansi pemerintah nonpendidikan berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tujuan menjaga keseimbangan antara jumlah lulusan LPTK dengan kebutuhan nyata tenaga kependidikan di lapangan. Pemerintah juga melakukan eksperimentasi dengan membuka program D-III kependidikan di sejumlah universitas non-LPTK, namun karena hasil riset menunjukkan ketidakefektifan program tersebut dalam mencetak guru sekolah menengah yang berkualitas, maka program tersebut dihentikan (Mutrofin, 2007).
Sebelum Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas diberlakukan, pemerintah melakukan kebijakan yang dianggap “strategi” dengan mengalihfungsikan (turning up) IKIP sebagai LPTK menjadi universitas dengan tetap mempertahankan FKIP di universitas sebagai LPTK. Dimulai dari enam dari 10 IKIP menjadi universitas berdasarkan Keppres No. 93/1999 tertanggal 4 Agustus 1999, berangsur-angsur IKIP menjadi universitas dengan mengambil nama universitas dari kota tempat IKIP berada, kecuali IKIP Bandung yang beralih fungsi menjadi Universitas Pendidikan Indonesia.
Seiring dengan pemberlakuan Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, tidak ada keharusan bahwa calon guru harus memiliki kualifikasi akademik melulu dari LPTK, melainkan juga berdasarkan kualifikasi akademik non-LPTK sejauh memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya, pendidikan untuk menjadi guru telah ditentukan melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang diprakarsai oleh pemerintah dengan menunjuk institusi pendidikan tinggi yang diberi tugas untuk itu.
Menurut UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Dengan demikian PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan S1 kependidikan dan S1/D-IV nonkependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi menjadi guru agar mereka dapat menjadi guru yang profesional serta memiliki berbagai kompetensi secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan dan dapat memperoleh sertifikat pendidik (sesuai UU No. 14/2005) pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Bagaimana dengan guru dalam jabatan (sudah menjadi guru) namun belum memenuhi syarat kualifikasi akademik sebagai guru? Kualifikasi akademik guru sebagaimana dimaksud bagi guru dalam jabatan yang belum memenuhinya, dapat dipenuhi melalui pendidikan, atau pengakuan hasil belajar mandiri yang diukur melalui uji kesetaraan yang dilaksanakan melalui ujian komprehensif oleh perguruan tinggi yang terakreditasi. Pendidikan sebagaimana dimaksud meliputi pelatihan guru dengan memperhitungkan ekuivalensi satuan kredit semesternya; prestasi akademik yang diakui dan diperhitungkan ekuivalensi satuan kredit semesternya; dan/atau pengalaman mengajar dengan masa bakti dan presstasi tertentu. Guru dalam jabatan yang mengikuti pendidikan dan uji kesetaraan, baik yang dibiayai pemerintah, pemerintah daerah, maupun biaya sendiri, dilaksanakan dengan tetap melaksanakan tugasnya sebagai guru.
Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud memiliki beban belajar yang diatur berdasarkan persyaratan latar belakang bidang keilmuan dan satuan pendidikan tempat penugasan dengan ketentuan sebagaimana berikut ini.
a.      Beban belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA) atau Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang S-1 atau D-IV kependidikan untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
b.     Beban belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang s-1 atau D-IV kependidikan untuk SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
c.      Beban belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang S-1 atau D-IV kependidikan selain untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
d.     Beban belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang S-1 atau D-IV kependidikan selain untuk SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
e.      Beban belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat dan pada satuan pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang sarjana psikologi adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
f.      Beban belajar untuk menjadi guru pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) atau bentuk lain yang sederajat dan satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA) atau Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat, baik yang berlatar belakang S-1 atau D-IV nonkependidikan adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
Beban belajar diatur dalam kerangka dasar dan struktur kurikulum oleh perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Muatan belajar pendidikan profesi meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Bobot muatan belajar disesuaikan dengan latar belakang pendidikan sebagai berikut:
a.      Untuk lulusan program strata satu (S-1) atau D-IV kependidikan dititikberatkan pada penguatan kompetensi profesional; dan
b.     Untuk lulusan program S-1 atau D-IV nonkependidikan dititikberatkan pada pengembangan kompetensi pedagogik.
2. Pembinaan dan Pengembangan
Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier. Pembinaan dan pengembangan profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Pembinaan dan pengembangan profesi guru dilakukan melalui jabatan fungsional. Pembinaan dan pengembangan karier guru meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bertahap, berkelanjutan dan dapat meningkatkan profesionalitasnya.
3. Penilaian Kinerja
Sebagai public servant, guru tidak dibiarkan melaksanakan profesinya sekehendak hati. Setiap pekerja profesional, termasuk guru memerlukan penilaian kerja. Penilaian kinerja guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karier kepangkatan dan jabatannya. Guru dalam lingkungan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, maupun oleh pemerintah daerah dan swasta memiliki kewajiban yang sama untuk tunduk kepada atyran main yang diberlakukan untuk penilaian kinerja dimaksud. Penilaian kinerja untuk guru mengacu kepada ketentuan tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
E. ORGANISASI PROFESI DAN KODE ETIK
Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Sebagai negara yang menganut paham demokrasi, negara menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, lebih-lebih pada guru yang menyandang profesi profesional, kepadanya diberi kebebasan untuk membentuk organisasi profesi yang bersifat indenpenden sebagai salah satu ciri profesionalismenya. Organisasi profesi berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. Untuk itu guru wajib menjadi anggota organisasi profesi. Pembentukan organisasi profesi dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dimana pemerintah dan atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru. Sebagaimana diatur oleh undang-undang, organisasi profesi guru mempunyai kewenangan: a. Menetapkan dan menegakkan kode etik guru; b. Memberi bantuan hukum kepada guru; c. Memberikan perlindungan profesi guru; d. Melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan e. Memajukan pendidikan nasional.
Organisasi profesi guru paling tua dan pertama di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang didirikan di Surakarta pada 25 November 1945, sebagai wujud aspirasi guru indonesia dalam memperjuangkan cita-citanya. Tanggal itu pula yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Guru Indonesia. Setelah reformasi 1998, di luar PGRI muncul organisasi guru lainnya.
Di Indonesia saat ini ada banyak sekali organisasi guru selain PGRI. Salah satu diantaranya yang sangat populer adalah Ikatan Guru Indonesia (IGI). IGI adalah organisasi legal yang diakui oleh pemerintah. Anggaran dasar Ikatan Guru Indonesia disahkan sesuai dengan akta notaris Rr. Y. Tutiek Setia Murni, SH., MH. Nomor 02 Tanggal 28 Januari 2009 tentang perkumpulan Ikatan Guru indonesia (IGI). IGI secara resmi sudah diakui dan disahkan pemerintah sebagai organisasi profesi guru berdasarkan SK Depkumham Nomor AHU-125.AH.01.06. Tahun 2009, tertanggal 26 November 2009. Selain itu juga ada organisasi guru lainnya, yaitu Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang berdiri sekitar awal Januari 2011 yang dideklarasikan di kantor ICW Jakarta.
Jaminan konstitusi tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul agaknya telah mendorong para guru yang sebelumnya disebut sebagai kelompok mayoritas diam (silent majority) itu untuk memanfaatkan momentum demokratis secara lebih optimal. Kemunculan organisasi profesi guru merupakan pertanda positif yang diharapkan mampu mewadahi aspirasi, pengembangan profesionalitas, dan upaya untuk memperjuangkan profesi. Namun pada sisi lain sangat mungkin terjadi kemunculan banyak organisasi guru menjadikan perjuangan profesi guru tidak lagi efektif, bahkan mencerai-beraikan guru dalam kompetisi yang tidak sehat. Untuk menghindari itu, selain organisasi profesi guru, ada dua institusi lain yang tidak boleh dilupakan, yaitu kode etik profesi guru dan dewan kehormatan guru. Dua hal terakhir dalam banyak kajian merupakan bagian sensitif dan merupakan elemen inti profesionalisme profesi guru.
Sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan, untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik. Kode etik berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan. Menurut Sudarwan Danim (2010), kode etik merupakan norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai pedoman sikap, moral dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara. Pedoman sikap dan perilaku dimaksud adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari di dalam dan di luar sekolah.
Sebagai pedoman moral, sikap dan perilaku Kode Etik ini bertujuan untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota profesi, meningkatkan pengabdian para anggota profesi, meningkatkan mutu atau kualitas profesi organisasi profesi. Dengan demikian, Kode Etik menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat yang dilindungi undang-undan. Tujuan Kode Etik dimaksud berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru dalam hubungannya dengan peserta didik, orang tua atau wali peserta didik, masyarakat, sekolah dan rekan seprofesi, profesi, organisasi profesi, dan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika, dan kemanusiaan. Istilah norma di sini bermakna sesuatu yang baik atau buruk dilihat dari persepsi komunitas penyandang profesi atau masyarakat pada umumnya.
Guru dan organisasi profesi guru bertanggung jawab atas pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia (KEGI). KEGI ini merupakan hasil rumusan Konferensi Pusat PGRI. Di banyak jenis profesi dan negara, Kode Etik profesi sejenis bersifat tunggal. Oleh karena itu, meskipun di Indonesia banyak organisasi profesi guru, KEGI ini mestinya menjadi Kode Etik Tunggal untuk siapa saja yang menyandang profesi guru. Kode Etik harus diinternalisasi dan mengintegral pada perilaku guru. Di samping itu, guru dan organisasi guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik dimaksud kepada rekan sejawat, penyelenggara pendidikan, masyarakat, dan pemerintah. Bagi guru, Kode Etik tidak boleh dilanggar, baik sengaja ataupun tidak. Setiap pelanggaran adalah perilaku menyimpang/tidak melaksanakan KEGI dan ketentuan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan profesi guru. Guru yang melanggar KEGI dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku pada organisasi profesi atau menurut aturan negara. Jenis pelanggaran meliputi pelanggaran ringan, sedang, dan berat.
Akan tetapi, guru tidak secara serta-merta dapat dikenai sanksi karena tudingan melanggar Kode Etik profesinya. Pemberian sanksi itu berdasarkan atas rekomendasi objektif. Pemberian rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran terhadap KEGI merupakan wewenang Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI). Sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan, DKGI dibentuk oleh organisasi profesi guru. Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru. Dewan kehormatan guru dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru. Pemberian sanksi oleh DKGI harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan. Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru. Namun, istilah wajib ini bersifat normatif. Sanksi dimaksud merupakan upaya pembinaan kepada guru yang melakukan pelanggaran dan untuk menjaga harkat dan martabat profesi guru. Selain itu, siapapun yang mengetahui telah terjadi pelanggaran KEGI wajib melapor kepada DKGI, organisasi profesi guru, atau pejabat yang berwenang. Tentu saja, setiap pelanggar dapat melakukan pembelaan diri dengan/atau tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasehat hukum menurut jenis pelanggaran yang dilakukan di hadapan DKGI.

E.      ISU PRESENTASI DAN SEMINAR
1.     Kesejahteraan guru selalu menjadi bahan perbincangan tiada henti. Pertanyaan dasar yang perlu dijawab ialah, benarkah kesejahteraan para guru belum memadai dibandingkan dengan profesi lain? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu adanya paparan tentang standar gaji, penghasilan dan penghargaan lain yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dan dibandingkan dengan ketentuan upah minimum regional dan provinsi dan tingkat kebutuhan hidup minimum (KHM).
2.     Diperlukan pengkajian lebih lanjut dampak jangka panjang ketika persyaratan untuk menjadi guru demikian “cair” dalam arti dapat diduduki oleh siapapun yang tanpa kecuali, apakah oleh lulusan sarjana (S1) dan D-IV kependidikan maupun non-kependidikan.
3.     Banyaknya organisasi profesi guru merupakan pertanda baik kehidupan demokrasi di negeri ini. Akan tetapi, ditilik dari sisi kepentingan profesionalisme profesi dan kemampuan daya tawar (bargaining power) dengan pemerintah, apakah hal itu tidak akan memperlemah?








BAB IV
DOSEN SEBAGAI PROFESI KEPENDIDIKAN
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan memiki kompetensi berikut ini:
1.     Menginisiasi profil dan identitas profesi dosen.
2.     Menjelaskan kedudukan dan tugas pokok profesi dosen.
3.     Menguraikan profesionalisme dan kompetensi yang dipersyaratkan profesi dosen.
4.     Mendiskusikan peran ganda dosen selain sebagai akademisi yang juga dituntut berperan sebagai intelektual dan cendikiawan.

A.    PROFIL, DAN IDENTITAS PROFESI
Sebetulnya, dosen sebagai profesi kependidikan hampir identik dengan profesi guru sebagai profesi dibidang pengajaran (teaching profession). Di Amerika Serikat, sebagaimana dirilis national education association (NEA), dalam soetjipto dan raflis kosasi (1999), profesi pengajaran adalah suatu jabatan dengan sejumlah karakteristik. Karakteristik tersebut intinya menegaskan bahwa profesi dibidang pengajaran adalah suatu jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual; menggeluti suatu batang tubuh ilmuyang khusus; memerlukan persiapan profesional yang lama; memerlukan latian dalam jabatan yang berkesinambungan; menjanjikan karir hidup dan kenanggotaan yang permanen; menentukan baku mutu (standar) sendiri; lebih mementingkan layanan atas keuntungan pribadi; dan jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Sejauh ini ada dua kelompok pandangan tentang profesi pengajaran. Kelompok pertama yang dianut pendukungnya meyakini dan percaya bahwa mengajar adalah suatu sains (science), sementara kelompok kedua dan pendukungnya mengatakan bahwa mengajar adalah suatu kiat (the art) atau profesi semi profesional (stinnett dan huggett, 1963). Bahkan lebih ekstrem, ornsteindan levine (1984), berpendapat bahwa belum ada kesepakatan tentang bidang ilmu khusus yang melatari pendidikan (education) atau pengajaran (teaching). Akan tetapi, sejauh menyangkut berbagai risalah hasil-hasil riset sebagaimana termuat secara periodik dalam encyclopedia of educational research, terdapat bukti-bukti kuat bahwa profesi pengajaran telah intensif mengambangkan batang tubuh ilmu khusunya (dilihat pula Millman, 1987; Wittrock, 1986).
           Berdasarkan telaah sebagaiman dikemukakan di Bab I, II dan III, namp. Lebih lanjut dapat diamati, bahwaak jelas bahwa profesi pengajaran melibatkan upaya-upaya yang sifatnya sangat didominasi kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati, bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota profesi ini adalah dasar bagi persiapan semua kegiatan profesional lainnya (soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999), Oleh sebab itu, menurut stinnet dan hugget 91963), mengajar seringkali disebut sebagai “ibu dari segala profesi” (mother of profession), suatu profesi Pling Tua sepanjang sejarah.
           Pertanyaan dasarnya ialah, apakah profesi guru dan dosen berbeda? Menurut Undang-Undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas, pasal-pasal yang mengatur tentang guru dan dosen berbeda. Akan tetapi kedua profesi tersebut berbeda dalam satu paket undang-undang yang sama, yakni UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Meskipun kemudian diatur melalui peraturan pemerintah  (PP) yang berbeda. Perbedaan antara guru dan dosen dijelaskan dengan baik oleh sadarwan danim (2010), berikut ini:
1.     Guru dan dosen secara konseptual merupakan dua jabatan/pekerjaan profesional yang sama, namun secara oiperasional terdapat perbedaan peran yang signifikan antara dosen yang bertugas diperguruan tinggi dan guru yang bertugas disekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal. Perbedaan itu dalam hal pengaturan mengenai: (a) kedudukan dan fungsi, (b) kualifikasi akademik dan kompetensi, (c) hak dan kewajiban, (d) wajib kerja dan ikatan dinas, (e) pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian, (f) pembinaan dan pengembangan, (g) penghargaan, (h) perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan perlindungan ketenaga kerjaan, (i) organisasi profesi, serta (j) sanksi.
2.     Secara yuridis, guru dan dosen merupakan pendidik profesional, tetapi tugas dan tanggung jawabnya berbeda. Disamping tenaga pendidik, dosen juga berfungsi sebagai peneliti yang memperdalam, memperluas, dan mengembangkan IPTEK dan seni. Kompetensi yang dibutuhkasn bagi dosen bukan sekedar menguasai IPTEK dan seni yang sudah mapan, melainkan juga menemukan IPTEK dan seni baru melalui penelitian, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.
3.     Secara historis, Organisasi guru telah ada sejak berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tanggal 25 November 1945, sedangkan organisasi dosen yang ada adalah menurut disiplin ilmu seperti Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Persatuan Sarjana Arsitek Indonesia (PSAI), dan sebagainya.
4.     Secara sosiologis, guru tersebar diseluruh tanah air, mulai dari kota besar samapai ke desa-desa terpencil atau “daerah-daerah khusus” (seperti daerah bencana, trisolasi, perbatasan, dan rawan konflik); sedangkan dosen hanya bertugas di daerah-daerah perkotaan. Hal ini berimplikasi pada tingkat kesulitan hidup, pelaksanaan tugas, dan risiko kerja guru yang sangat bebeda dengan dosen. Karena itu perlindungan dan kesejahteraan guru memerlukan pengaturan tersendiri.
5.     Guru disiapkan diperguruan tinggi pada jenjang pendidikan sarjana. Kompetensi yang dikembangkan adalah kemampuan menguasai substansi dan pembelajaran sesuai kurikulum disekolah. Guru mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan potensi peserta didik sejak pada usia dini sehingga menjadi insan dewasa yang berbudaya. Dosen dipersiapkan diperguruan tinggi pada jenjang pendidikan magister dan/atau doktor. Kompetensi yang dikembangkan ialah kemampuan menguasai struktur dan metode keilmuan sampai pada tahap muktahir, melaksanakan penelitian dasar dan terapan, serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dalam konteks bidang keilmuan. Dosen mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan potensi peserta didik usia dewasa melalui program akademik, vokasi, atau profesi, serta terikat oleh etika covitas akademika.
6.     Pemberdayaan guru disekolah terikat oleh konsep dan prinsip manajemen berbasis sekolah, sedangkan pemberdayaan dosen lebih terikat pada konsep dan prinsip otonomi keilmuan. Pemberdayaan guru secara individual antara lain diarahkan untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya dan melakukan penelitian untuk menunjang proses pembelajaran; sedangkan pemberdayaan dosen antara lain diarahkan melaksanakan pembelajaran orang dewasa, melakukan penelitian keilmuan murni atau terapan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan disiplin ilmu dan/atau pengembangan masyarakat.
7.     Guru dituntutbersikap profesional dalam penguasaan dua kompetensi secara berimbang, yakni kompetensi sebagai pendidik (educator) dan kompetensi sebagai pengajar (teacher), sedangkan dosen lebih dititik beratkan pada sikap dan kemampuan profesional sebagai ilmu-pengajar (lecturer).
8.     Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan bersifat otonom berbasis satuan pendidikan tinggi dalam mengelola dosen. Hal ini berbeda dengan sekolah yang guru-gurunya dikelola secara terpadu berbasis wilayah untuk semua jenis pada jenjang pendidikan formal.
9.     Pembinaan dan pengambangan dosen diperguruan tinggi sudah tertata lebih baik dan secara hukum sudah lebih terlindungi, serta secara profesional, sosial, dan finansial sudah memperoleh penghargaan yang lebih memadai daripada guru.
10.  Pada konteks international, kedudukan guru dan status guru secara eksplisit telah dituangkan dalam Rekomendasi ILO/UNESCO : The Status Of Teachers : An Instrumen For Its Improvement; The International Recommendation Of 1966, 5 Oktober 1966, yang ditandatangai di paris oleh utusan dari 165 negara , termasuk Indonesia. Rekomendasi tersebut manyatakan bahwa konsep dan sebutan “guru”digunakan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, termasuk pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal. Rekomendasi tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap hak dan kewajiban guru dalam menjalankan profesinya. Hal ini berbeda dengan profesi dosen.
Menurut undang-undang No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen; dan PP No.37 /2009 tentang dosen, dosen didefinisikan sebagai pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Profesi dosen dikukuhkan sebagai jabatan fungsional berdasarkan keputusan presiden No. 87/1999, tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS, dan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (MENKO WASBANGPAN) No. 38/KEP/MK.WASPAN/8/1999 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Men-PAN No. PER/60/M.PAN/6/2005.
Status dosen terdiri atas dosen tetap, yaitu dosen yang bekerja penuh waktu yang bersetatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu, dan dosen tidak tetap. Jenjang jabatan akademik dosen tetap terdiri atas Asisten Ahli (Penata Muda golongan ruang III/a, Penata Muda Tingkat I Golongan III/b), Lektor (Penata Golongan Ruang III/c, Penata Tingkat I golongan ruang III/d); Lektor Kepala (Pembina Golongan ruang IV/a, Pembina tingkat I golongan ruang IV/b, Pembina utama muda golongan ruang IV/c); dan Profesor/Guru Besar (Pembina Utama Madya golongan ruang IV/d, Pembina Utama golongan ruang IV/e). Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor. Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggisesuai dengan peraturan perundang-undangan.



5 komentar:

  1. Bagus. Akan lebih lengkap jika daftar pustaka dimunculkan

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum wrb salam persaudaraan,perkenalkan saya Sri Wulandari asal jambi,maaf sebelumnya saya hanya mau berbagi pengalaman kepada saudara(i) yang sedang dalam masalah apapun,sebelumnya saya mau bercerita sedikit tentang masalah saya,dulu saya hanya penjual campuran yang bermodalkan hutang di Bank BRI,saya seorang janda dua anak penghasilan hanya bisa dipakai untuk makan anak saya putus sekolah dikarenakan tidk ada biaya,saya sempat stres dan putus asa menjalani hidup tapi tiap kali saya lihat anak saya,saya selalu semangat.saya tidak lupa berdoa dan minta petunjuk kepada yang maha kuasa,tampa sengaja saya buka internet dan tidak sengaja saya mendapat nomor tlpon Aki Sulaiman,awalnya saya Cuma iseng2 menghubungi Aki saya dikasi solusi tapi awalnya saya sangat ragu tapi saya coba jalani apa yang beliau katakan dengan bermodalkan bismillah saya ikut saran Aki Sulaiman saya di ritualkan dana gaib selama 3 malam ritual,setelah rituialnya selesai,subahanallah dana sebesar 2M ada di dalam rekening saya.alhamdulillah sekarang saya bersyukur hutang di Bank lunas dan saya punya toko elektronik yang bisa dibilang besar dan anak saya juga lanjut sekolah,sumpah demi Allah ini nyata tampa karangan apapun,bagi teman2 yang mau berhubungan dengan Aki Sulaiman silahkan hub 085216479327 insya Allah beliau akan berikan solusi apapun masalah anda mudah2han pengalaman saya bisa menginspirasi kalian semua,Assalamualaikum wrb.JIKA BERMINAT SILAHKAN HUB AKI SULAIMAN 085-216-479-327,TAMPA TUMBAL,TIDAK ADA RESIKO APAPUN(AMAN) .

    BalasHapus
  3. Making Money from Betfair - Work/Product - Work/Product
    Work/Product. Betfair is a leader in the online betting world and one of the งานออนไลน์ leading betting exchange services. From sports to horse racing, they are one

    BalasHapus
  4. Casino at Winthrop, Washington - MapYRO
    Find 김제 출장샵 Casinos Near Winthrop Casino and other Casino in 순천 출장안마 Winthrop, WA near Winthrop, View 여주 출장마사지 reviews, photos and map. 포천 출장안마 Use this 화성 출장샵 simple form to find and update your

    BalasHapus